Pertukaran Data Lintas Negara Tingkatkan Efektivitas Big Data Pajak

Katadata | Arief Kamaludin
Penulis: Rizky Alika
12/9/2018, 16.28 WIB

Pertukaran data keuangan secara otomatis antarnegara atau Automatic Exchange of Information (AEoI) bakal memperkuat basis informasi big data yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Kemenkeu mengatakan, fokus utama pelaksanaan AEoI untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP) dalam melaporkan penghasilan dan hartanya, serta membayar pajak sesuai ketentuan.

"Yang akan kami lakukan terhadap data-data keuangan WNI (warga negara Indonesia), di luar negeri yang kami peroleh dari mitra AEoI, adalah mengecek sudahkah aset keuangan tersebut dilaporkan dalam SPT tahunan," tuturnya kepada Katadata.co.id, pekan lalu.

AEoI berlaku mulai September 2018 kemudian akan ditinjau kembali pelaksanaannya oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Pertukaran data ini bertujuan supaya pemerintah leluasa melacak potensi pajak di luar negeri.

(Baca juga: Bank Ramal Nasabah Resah soal Keterbukaan Data tapi Cuma Sementara)

Kini terdapat 146 yurisdiksi yang berkomitmen melaksanakan pertukaran data keuangan. Dari jumlah ini sebanyak 79 yurisdiksi menyatakan siap sebagai partisipan. Awalnya, setiap yurisdiksi setuju bahwa informasi yang dapat dipertukarkan hanya rekening keuangan WP.

Informasi tersebut mencakup identitas pemilik rekening, identitas rekening, identitas lembaga keuangan, saldo akhir rekening, dan pendapatan atau penghasilan pemilik rekening. Cakupan data ini kemudian diperluas menyentuh pemungutan atau pemotongan pajak oleh pihak ketiga di dalam maupun luar negeri, plus keterangan dokumen per negara (Country by Country Report/CbCR).

"(Akan dicek juga) apakah penghasilan untuk memperoleh harta wajib pajak sudah dilaporkan dan dibayarkan pajaknya. Kalau belum, tentunya kami akan minta wajib pajak memperbaiki pelaporan dan pembayaran pajaknya," ujar Yoga.

Ke depan, pelaksanaan AEoI diharapkan mampu meningkatkan kualitas big data milik Ditjen Pajak. Big data merupakan istilah yang merujuk kepada volume data yang besar, baik data terstruktur maupun yang tidak. Besar data bukan poin utama melainkan soal bagaimana mengorganisirnya.

Pemanfaatan big data untuk kepentingan perpajakan dimulai sejak 2015. Pada saat itu, otoritas pajak dalam negeri hanya memiliki sepuluh komputer dengan ruang penyimpanan sekitar 10 terabyte. Seiring waktu berjalan dapat dicapai akselerasi scripting process dari 96 jam menjadi 59 detik.

Pada 2016, diperoleh tambahan penerimaan pajak mencapai Rp 1,3 triliun berkat big data. Ditjen Pajak kini dapat merekam 11,3 miliar data SPT, sekitar 10 miliar faktur PPN, sejumlah 5 juta Surat Ketetapan Pajak (SKP), sebanyak 255 juta data kartu identitas pajak (KTP), 51 juta customs data, 35 juta data kartu kredit per tahun, serta 30,5 juta data perbankan lain.

Ditanya terkait potensi tambahan penerimaan pajak setelah AEoI diterapkan, Yoga mengaku bahwa pihaknya tak membuat proyeksi spesifik terkait ini. "Tapi, kami yakin itu akan meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak," ujarnya.

Kini, big data mampu melacak data sekitar 30.000 WP yang terindikasi melakukan kecurangan (fraud) dalam sepekan. Sebelumnya, Ditjen Pajak memerlukan 2 tahun untuk menganalisis 100 - 200 WP yang diduga melakukan kecurangan. Artinya, big data mempercepat proses pengolahan informasi menjadi 100 kali lebih cepat.

Big data juga memungkinkan Ditjen Pajak mengidentifikasi dugaan kecurangan lain, seperti transaksi menggunakan faktur pajak palsu. Aksi lain yang bisa dideteksi, semisal pemalsuan nilai laba atau rugi perusahaan sehingga berbeda dengan data yang dilaporkan.

Selain itu, dapat dilakukan pemantauan juga terhadap hasil produksi, aset transfer, serta penghasilan dari transaksi saham yang tidak dilaporkan. Kegiatan lain yang dapat dimonitor, yakni transaksi properti atau aset, transaksi dalam jumlah besar tanpa identitas pajak, dan under-pricing komoditas.

Ditjen Pajak kini menjalankan Sosial Network Analytics (Soneta) yang memungkinkan mereka melacak jaringan distribusi WP plus jaringan kepemilikan sahamnya. Otoritas pajak dalam negeri juga membentuk data pemicu pengawasan wajib pajak. Alhasil, mereka bisa mengawasi WP termasuk soal faktur pajak yang sudah disetujui tetapi belum lapor SPT.

Penggunaan big data tentu diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak. Pasalnya, Ditjen Pajak bisa menganalisis WP beserta entitas terkait seperti aset, anggota keluarga, dan kepemilikian perusahaan. Ke depan, pemerintah hendak memperluas pemantauan terhadap para wajib pajak melalui aktivitas mereka di media sosial.

Iwan Djuniardi selaku Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi DitjenPajak Kemenkeu mengatakan, rencana tersebut sedang dalam tahap penyusunan. "Arsitekturnya baru kami siapkan. Kami masih menjajaki data-data apa yang dilacak," ujarnya.

Menurut Iwan, media sosial merupakan sumber data yang sangat potensial. Tapi pelacakan aktivitas WP melalui jejaring daring tak diterapkan kepada semua wajib pajak. Dengan kata lain, pelacakan data dari dunia maya hanya untuk kasus tertentu.

(Baca juga: Otoritas Pajak Hendak Pantau Aktivitas Wajib Pajak di Medsos)

Big data sejatinya diharapkan dapat meningkatkan pelayanan pajak menjadi lebih mudah dan lebih luas sehingga data yang terkumpul dapat digunakan secara efektif. Yang pasti, Ditjen Pajak juga akan mengembangkan sistem yang dapat menganalisis berdasarkan penilaian risiko WP guna meningkatkan penerimaan pajak negara.