Pemerintah berencana mengevaluasi 500 komoditas impor agar dapat diproduksi di dalam negeri. Langkah itu ditempuh sebagai salah satu upaya pemerintah mengendalikan defisit neraca perdagangan dan mengurangi dampak tekanan perdagangan global.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan barang impor merupakan salah satu komoditas yang bisa dikendalikan langsung oleh pemerintah. “Kami akan lihat kalau barang impor permintaannya melonjak tinggi tapi tidak terlalu strategis atau sangat dibutuhkan di dalam perekonomian maka akan dikendalikan,” katanya di Kantor Kementerian Perekonomian, Rabu (15/8).
Dia menuturkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan untuk mengidentifikasi jenis barang impor yang bisa disubtitusi atau diproduksi di dalam negeri. Dengan begitu, pemerintah segala impor barang konsumsi, bahan baku penolong maupun barang modal nantinya akan mulai dijaga dan diawasi.
(Baca : Neraca Perdagangan Juli Defisit US$ 2,03 Miliar, Terbesar Sejak 2013)
Pemerintah juga akan mendorong penggunaan barang dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) serta mengubah jadwal proyek infrastruktur yang memerlukan material impor tapi tidak terlalu memiliki dampak ekonomi.
Dengan adanya seleksi barang impor, dia berharap produktivitas dan daya saing produk industri dalam negeri terus meningkat. “Kami juga akan melihat apa saja halangannya, kemudian apakah perlu insentif yang lain atau tidak,” ujar dia.
Senada dengan Sri Mulyani, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan juga menuturkan produk impor yang memiliki substitusinya bakal didorong dari industri dalam negeri. Dia mengatakan fokusnya bakal didorong ke arah seleksi impor bahan baku penolong.
“Kalau substitusi impor kan harus bahan baku, tapi kita perhatikan juga yang lain seperti barang konsumsi dan barang modal,” katanya.
(Baca : Juli 2018, Neraca Dagang Diprediksi Defisit Hingga US$ 1,3 Miliar)
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan pengendalian komoditas impor juga harus dibarengi dengan penguatan komoditas ekspor, seperti minyak kelapa sawit atau karet yang memiliki tingkat kandungan lokal tinggi.
Selain itu, dalam mengidentifikasi komoditas impor nanti, pemerintah juga harus berhati-hati dalam mengelompokan jenis barang, terutama dari sisi ketersediaan dan nilai tambahnya. “Pemerintah harus hati-hati,” ujarnya.
Dalam pengumuman neraca perdagangan hari ini, BPS mencatat neraca dagang pada Juli 2018 defisit US$ 2,03 miliar. Defisit ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2013 atau dalam 59 bulan terakhir sebesar US$ 2,30 miliar. Sektor minyak dan gas (migas) menyumbang defisit terbesar Juli 2018 yakni sekitar US$ 1,18 miliar. Sementara defisit neraca nonmigas tercatat sebesar US$ 842,2 juta.
(Baca : 3 Tahun Surplus, Neraca Dagang Semester I 2018 Defisit US$ 1 Miliar)
Pada Juli 2018, total impor mencapai sebesar US$ 18,27 miliar, membengkak 62,17% dari US$ 11,27 miliar. Dari nilai tersebut, impor nonmigas melonjak tajam 71,55% dari US$ 9,13 miliar menjadi US$ 15,66 miliar. Sedangkan impor migasnya justru hanya tumbuh 22,20%.
Sementara itu, dari total ekspor sepanjang Juli 2018 hanya meningkat sekitar 25,19% demngan nilai ekspor sebesar US$ 16,24 miliar. Ekspor nonmigasnya mengalami kenaikan 31,18% menjadi US$ 14,81 miliar dari US$ 11,29 miliar. Sedangkan ekspor migas turun 15,17% dari US$ 3,59 miliar menjadi US$ 3,05 miliar.