Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Berbentuk Badan Hukum Usaha Bersama. Aturan ini bakal jadi acuan untuk penanganan satu satunya perusahaan asuransi berbadan hukum mutual di Indonesia yaitu Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.

Pengamat industri asuransi sekaligus mantan Komisaris Bumiputera Irvan Rahardjo menyambut positif penerbitan aturan tersebut. Namun, POJK mendahului peraturan pemerintah mengenai asuransi mutual semestinya sudah diterbitkan pemerintah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

“POJK patut disambut baik sebagai respons dan inisiatif OJK atas kekosongan hukum pada badan hukum usaha bersama. Namun demikian POJK mendahului Peraturan Pemerintah yang menjadi amanat UU 40 Tahun 2014,” kata Irvan, Kamis (1/3). 

(Baca juga: Hidupkan Bumiputera, Ketua OJK: Boleh Jual Polis dan Bentuk Anak Usaha)

Bahkan, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara No 32 /PUU-XI /2013 Perkara Uji Materi terhadap UU Perasuransian sebelumnya yaitu UU 2 Tahun 1992, maka bentuk usaha bersama semestinya diatur dalam undang-undang. 

Di samping itu, ia menyoroti penerbitan POJK yang tiba-tiba, tanpa meminta masukan masyarakat. “POJK ini tidak disertai dengan proses Rule Making Rule melalui rancangan POJK sebagai cara untuk menerima masukan masyarakat yang biasa ditempuh OJK untuk mencegah kontroversi di kemudian hari,” kata dia.

(Baca juga: Pembayaran Klaim Bumiputera Terlambat karena Sulit Cairkan Aset)

Meski begitu, dari segi isi aturan, Irvan melihat beberapa ketentuan dalam POJK telah mencoba mengakomodir karakter asuransi mutual. Misalnya, tidak ada ketentuan tentang besaran ekuitas minimum seperti pada asuransi berbentuk perseroan terbatas (PT), besaran dana jaminan ditetapkan berdasarkan cadangan premi bukan ekuitas.

Selain itu, tingkat solvabilitas ditetapkan dari Dana Minimal Berbasis Risiko (DMBR), bukan modal sebagaimana PT. Tingkat solvabilitas ditetapkan 100% dari DMBR. Adapun besaran DMBR ditetapkan dengan menghitung berbagai risiko, seperti risiko kredit, likuiditas, pasar, asuransi dan operasional.

Menurut Irvan, jika dibandingkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Bukan Badan Hukum Berbentuk PT, POJK mutual juga lebih rileks dan realistis dengan karakter Bumiputera. 

Dalam KMK tersebut ditetapkan likuiditas harus mencapai 200% mulai 2006, deposito jaminan 400 juta ditambah 3% dari cadangan premi, perbandingan kekayaan dan kewajiban 100% mulai 2010. Jika tak memenuhi ketentuan ini, Menteri dapat memerintahkan kepada perusahaan asuransi non-PT untuk memindahkan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada perusahaan asuransi lain.

Di sisi lain, ia menyebut POJK mutual berpotensi menyandera Bumiputera. Sebab, tanah yang diagunkan atau dalam sengketa tidak masuk dalam perhitungan solvabilitas. Selain itu, adanya larangan pengalihan aset kecuali melalui transaksi yang wajar.

“Kedua hal tersebut saat ini dialami AJB Bumiputera pasca kerja sama dengan PT Evergreen berakhir gagal. Status agunan dan pengalihan aset-nya belum jelas pasca berakhirnya kerja sama,” kata dia. (Baca juga: Tawaran Jalan Keluar Kemelut Bumiputera)

Ketentuan lain dalam POJK yang disoroti Irvan adalah soal opsi demutualisasi sebagai bagian dari rencana penyehatan keuangan perusahaan. Ia menyarankan agar tata cara demutualisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.