Langkah pemerintah meningkatkan peringkat kemudahan usaha atau Ease of Doing Business (EODB) terus menunjukkan hasil. Indeks kemudahan berusaha di Indonesia berhasil naik 19 poin menjadi peringkat 72 di tahun 2018 dengan nilai 66,47. Bank Dunia membeberkan 7 alasan utama.
"Kami memuji tekad pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Melanjutkan momentum dan upaya memperluas reformasi yang mengikutsertakan keterbukaan dan persaingan, merupakan kunci untuk menstimulasi lebih jauh lagi sektor swasta di negara ini," ujar Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Rodrigo A Chaves, Jakarta, Rabu (1/11).
Terdapat 7 reformasi utama yang menyebabkan peringkat Indonesia mengalami kenaikan. Pertama, biaya memulai usaha dibuat lebih rendah dengan penurunan sebelumnya 19,4 persen menjadi 10,9 persen pendapatan per kapita. Kedua, biaya mendapatkan sambungan listrik dibuat lebih murah dengan mengurangi biaya sambungan dan sertifikasi kabel internal.
Biaya untuk mendapatkan sambungan listrik kini 276 persen dari pendapatan per kapita, atau turun 357 persen. Di Jakarta, dengan proses permintaan untuk sambungan baru yang lebih singkat, listrik pun bisa didapatkan dengan mudah. Ketiga, akses perkreditan ditingkatkan dengan pembentukan biro kredit baru.
Keempat, perdagangan lintas negara difasilitasi dengan memperbaiki sistem penagihan elektronik untuk pajak, bea cukai, serta pendapatan bukan pajak. Hal ini menyebabkan, waktu untuk mendapatkan, menyiapkan, memproses, dan mengirimkan dokumen saat melakukan impor turun dari 133 jam menjadi 119 jam.
(Baca: Peringkat Kemudahan Usaha RI Naik, Urusan Pajak Dapat Nilai Minus)
Kelima, pendaftaran properti dibuat lebih murah dengan pengurangan pajak transfer, sehingga mengurangi biaya keseluruhan dari 10,8 persen menjadi 8,3 persen dari nilai properti. Keenam, hak pemegang saham minoritas diperkuat dengana danya peningkatan hak, peningkatan peran dalam mengambil keputusan perusahaan besar, dan peningkatan transparansi perusahaan. Ketujuh, dalam pembayaran pajak, yakni dilakukan secara online.
Menurut laporan EODB Bank Dunia, Indonesia membuat reformasi terbesar dalam 15 tahun terakhir di bidang memulai usaha, yakni 8 reformasi sejak tahun 2003. Dampaknya, hanya dibutuhkan waktu 22 hari untuk memulai bisnis di Jakarta dibandingkan dengan 181 hari di laporan EODB tahun 2004. Hanya, prosedur pendafatan dirasa masih cukup tinggi sebanyak 11 prosedur.
Hal ini masih jauh lebih banyak jika dibandingkan negara ekonomi berpendapatan tinggi anggota OECD yang hany 5 prosedur. Selain itu, Indonesia juga melakukan reformasi signifikan dalam menyelesaikan kepailitan. Pada tahun 2003, tingkat pemulihan hanya 9,9 sen untuk setiap dolar. Saat ini, angka tersebut melonjak hingga 65 sen untuk setiap dolar.
(Baca: Jokowi Belum Puas dengan Kenaikan Peringkat Kemudahan Usaha)
Dengan pencapaian ini, peringkat Indonesia menjadi lebih tinggi diantara negara berkembang lainnya seperti Afrika Selatan di peringkat 82, India di peringkat 100, Filipina di peringkat 113, dan Brazil di peringkat 125. Namun, peringkat Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan negara tetangga, yakni Singapura di peringkat 2, Malaysia di peringkat 24, Thailand di peringkat 26, Brunei Darussalam di peringkat 56, bahkan Vietnam di peringkat 68.
Operation Analyst Bank Dunia Dorina Georgieva mengatakan Indonesia menunjukan perbaikan paling signifikan terhadap kemudahan memperoleh sambungan listrik untuk usaha. Dia berharap Pemerintah Indonesia terus melakukan reformasi agar bisa lebih meningkatkan nilainya dalam indeks EODB.
Reformasi bisa dilakukan dengan membandingkan dengan negara lainnya yang memiliki peringkat perbaikan di atas Indonesia. Kemudian, rencana perbaikan tersebut harus ditungakan dalam kebijakan yang harus dijalankan seluruh pemangku kepentingan. "Setelah membandingkan performa negara lain, apa yang dilakukan para pembuat kebijakan selanjutnya menjadi penting," ujarnya.
Secara lebih spesifik, Indonesia masih perlu melakukan perbaikan di bidang penegakan kontrak. Sementara, biaya untuk menyelesaikan perselisihan komersial melalui pengadilan negeri di Jakarta menurun hampir separuh 135,3 persen dari klaim di tahun 2003 menjadi 74 persen saat ini. Akan tetapi, jumlah tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding rata-rata 21,5 persen di negara ekonomi pendapatan tinggi anggota OECD.