Efek Peringkat S&P, Pemerintah Optimistis Surat Utang Negara Diburu

Arief Kamaludin|KATADATA
Uang rupiah pecahan baru Rp 100.000 di Cash Centre Bank BNI, Jakarta.
24/5/2017, 11.48 WIB

Pemerintah optimistis surat berharga negara (SBN) bakal makin diburu investor setelah Indonesia mengantongi peringkat layak investasi (investment grade) dari tiga lembaga pemeringkat utama. Alasannya, peringkat tersebut mencerminkan risiko gagal bayar (default) utang pemerintah relatif rendah.

Pekan lalu, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) memutuskan untuk menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade). Keputusan tersebut meneguhkan keputusan dua lembaga pemeringkat internasional lainnya yaitu Fitch Ratings dan Moody’s yang telah memberikan peringkat serupa sejak lima tahun lalu.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, pemerintah bakal diuntungkan oleh peningkatan permintaan SBN. Sebab, kupon yang harus ditawarkan kepada investor bakal turun. Alhasil, biaya utang (cost of borrowing) bisa berkurang.

"Bisa menurunkan cost of borrowing karena harusnya dana yang menjadi available (tersedia) lebih banyak, permintaan terhadap bonds (obligasi-obligasi) Indonesia atau SBN mestinya bisa meningkat," kata dia di kantornya, Jakarta, Selasa (23/5). (Baca juga: Pasca Peringkat S&P, Ekonom Ramal Efek Berantai Banjir Dana Asing)

Menurut pantauan Katadata, setidaknya sejak awal tahun, lelang SBN selalu kelebihan permintaan (oversubscribe). Belakangan, 23 Mei lalu, lelang Surat Utang Negara (SUN) kelebihan permintaan 3,1 kali. Permintaan mencapai Rp 43,87 triliun, sedangkan yang dimenangkan hanya Rp 14 triliun.

Naiknya permintaan investor juga bisa menggenjot harga SBN naik. Dengan begitu, yield (imbal hasil) yang ditetapkan pasar ikutan turun. Dengan begitu, bunga utang yang harus dibayarkan rutin pemerintah juga berkurang. "Jumat kemarin, (yield SBN 10 tahun) mulai kelihatan (turun) sekitar 0,07-0,08 persen baik yang denominasi rupiah atau valuta asing (valas) hampir merata," ujar dia.

Meski demikian, ia mengakui, yield berisiko naik, utamanya karena terpengaruh faktor eksternal yaitu rencana bank sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan bunga dananya (Fed Fund Rate) dan menurunkan neraca keuangannya (balance sheet). Kedua kebijakan ini disebut-sebut bisa menarik likuiditas di pasar keuangan internasional dan mengakibatkan yield obligasi di dalam negeri naik.

Namun, ia berharap peringkat layak investasi bisa meredam kenaikan yield sehingga beban bunga utang pemerintah tak naik signifikan. "Kan salah satu faktor yang mempengaruhi ada Fed Rate mau naik juga. Jadi kami lihat ini mudah-mudahan bisa mengompensasi (risiko kenaikan yield)," kata dia. (Baca juga: BKPM Ramal Kenaikan Rating S&P Baru Berdampak Signifikan 2018)