Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka ketimpangan (gini ratio) pengeluaran penduduk Indonesia terus menurun dalam 1,5 tahun terakhir. Pada September 2016, angka rasio gini Indonesia tercatat 0,394 atau turun 0,014 dari Maret 2015 yang sebesar sebesar 0,408. Namun, membaiknya tingkat ketimpangan pengeluaran itu lebih banyak dinikmati kelas menengah.
Kepala BPS Suhariyanto melihat tren penurunan tersebut sebagai perkembangan yang positif. "Artinya, terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran penduduk Indonesia pada bulan September 2016," ujarnya saat konferensi pers di kantor pusat BPS, Jakarta, Rabu (1/2). (Baca juga: Berantas Ketimpangan Ekonomi, Jokowi Siapkan 10 Kebijakan)
Secara berturut-turut, penurunan gini ratio sejak Maret 2015 sampai September 2016 yaitu 0,408, 0,402, 0,397, dan terakhir 0,394. Adapun ketimpangan tertinggi pada September 2016 terjadi di Provinsi Yogyakarta dengan gini ratio 0,425 dan terendah di Provinsi Bangka Belitung dengan gini ratio 0,288. Sekadar informasi, data gini ratio hanya per Maret dan September sebab BPS memang hanya merilis rasio tersebut enam bulan sekali.
Sebelumnya, pada periode September 2010 sampai September 2014, gini ratio terus berfluktuasi. Gini ratio tercatat sebesar 0,378 pada September 2010, lalu meningkat jadi 0,410 pada Maret 2011. Sejak itu,terus naik turun hingga berada di angka 0,414 pada September 2014.
Bila mengacu pada kategorisasi Bank Dunia, menurut Suhariyanto, Indonesia memiliki tingkat ketimpangan pengeluaran yang rendah. Berdasarkan kajian Bank Dunia, penduduk Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu kelompok 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas.
Tingkat ketimpangan dianggap tinggi apabila persentase pengeluaran kelompok terbawah berada di bawah 12 persen, ketimpangan sedang bila pengeluaran kelompok terbawah di antara 12-17 persen dan ketimpangan rendah bila pengeluaran kelompok terbawah di atas 17 persen.
"Persentase (pengeluaran) kelompok terbawah besarannya 17,7 persen. Walaupun tipis, Indonesia berarti berada dalam kategori ketimpangan rendah," ujar Suhariyanto.
Menurut dia, terdapat beberapa faktor yang mendorong penurunan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk. Pertama, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah yang lebih cepat dibanding kelompok 20 persen teratas.
Sepanjang September 2015-September 2016, kenaikan pengeluaran per kapita terbesar dirasakan kelompok 40 persen menengah yaitu sebesar 11,69 persen. Selanjutnya diikuti kelompok 40 persen terbawah yaitu 4,56 persen, dan terakhir kelompok 40 persen teratas yaitu 3,83 persen.
(Baca juga: Pemerataan Pembangunan Indonesia di Bawah Malaysia dan Thailand)
Faktor kedua, menguatnya perekonomian penduduk kelas menengah. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri akibat kondusif-nya perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Faktor ketiga, upaya pembangunan infrastruktur padat karya, dan beragam skema perlindungan dan bantuan sosial baik dalam hal pendidikan, kesehatan, maupun aspek kesejahteraan lainnya.
Meski ketimpangan pengeluaran turun, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS M. Sairi Hasbullah menyebut dari data yang ada, dapat disimpulkan juga bahwa proses pembangunan yang berjalan lebih banyak dinikmati oleh lapisan kelompok menengah.
"Pembangunan infrastruktur besar-besaran, fasilitas untuk UMKM, membantu menggeliatnya ekonomi kelas menengah. Tetapi belum cukup kuat menyentuh lapisan terbawah masyarakat," ujarnya.