Sederet Persoalan Domestik Mengancam Ekonomi Tahun Depan

Donang Wahyu|KATADATA
23/12/2016, 11.18 WIB

Sejauh ini, daya beli masyarakat juga rendah. Penjualan ritel, misalnya, cenderung stagnan di level 192,7 meskipun ada momen Natal dan Tahun Baru. Padahal, pada saat puasa dan lebaran, Indeks Penjualan Ritel mencapai 218,7. Kondisi serupa juga terjadi pada penjualan kendaraan bermotor. Bahkan, penjualan semen menurun 6,6 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Rendahnya daya beli telah mengurangi minat ekspansi sektor riil. Total investasi atau gross fixed capital formation, misalnya, tumbuh stagnan lima persen sejak tahun lalu.

Dia mencatat, setidaknya ada tujuh perusahaan yang belanja modalnya (capital expenditure/capex) tidak meningkat yakni Semen Indonesia, Bukti Asam, Timah, United Tractors, Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Mandiri. Hanya Jasa Marga yang belanja modalnya naik dua kali lipat dari tahun ini.

Karena itu, mau tak mau pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan untuk mendorong perekonomian. Sayangnya, belanja pengeluaran ini terkendala penerimaan yang minim. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara baru mencapai Rp 1.319 triliun, sementara belanja sudah mencapai Rp 1.638,2 triliun per November lalu.

(Baca juga: Penerimaan Pajak Minim Ganjal Kenaikan Peringkat Kredit Indonesia)

Senada dengan Andry, Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, penerimaan pajak memang menjadi persoalan fundamental ekonomi Indonesia. Akibat rendahnya peneriman pajak, Indonesia sulit mendapat peringkat investasi dari lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P). Untuk bisa meningkatkan penerimaan, perlu perbaikan basis pajak, administrasi perpajakan, dan penegakan hukum pajak.

“Dulu ada 28 persen atau sekitar Rp 3.800 triliun dari aktivitas ekonomi Indonesia yang tidak terjaring pajak. Tapi itu sekarang sudah tertangkap karena pengampunan pajak,” kata Andry.

Halaman: