Penerimaan Pajak Minim Ganjal Kenaikan Peringkat Kredit Indonesia

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
22/12/2016, 14.50 WIB

Di sisi lain, Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean menyoroti penerimaan pajak yang rendah menjadi hambatan terbesar bagi kenaikan peringkat kredit Indonesia. Sebab, rata-rata negara yang dinaikkan peringkat kreditnya memiliki rasio pajak (tax ratio) sebesar 14 persen. Sedangkan Indonesia saat ini hanya 11 persen.

(Baca juga: Defisit Penerimaan, Sri Mulyani Minta Ditjen Pajak Capai Target)

“Untuk menaikkan rating itu dilihat cashflow-nya, berapa penerimaan dan pengeluarannya. Negara yang dapatinvestment grade dari Standard and Poor’s (S&P) itu kalau tidak salah tax ratio-nya 14 persen,” katanya di Jakarta, Kamis (22/12).

Adrian menjelaskan, lembaga pemeringkat menilai dua faktor ketika hendak menaikkan rating pinjaman suatu negara. Pertama, struktural atau fundamental ekonominya. Kenaikan prospek kredit Indonesia ini menandakan perekonomian Indonesia yang positif. Kedua, arus kas atau melihat penerimaan negaranya.

“Kelihatannya itu stempel dari Fitch bahwa kebijakan fiskal Indonesia prudent, jadi Surat Utang Negara (SUN) ini diperkirakan tidak akan default (gagal bayar),"  kata Adrian. (Baca juga:  Tax Amnesty Dongkrak Pelunasan Utang Pajak Rp 36,99 Triliun)

Agar mampu bertahan dengan kondisi ekonomi dan peringkat yang positif ini, ada tiga hal yang harus dijaga pemerintah. Pertama, menaikkan produktivitas. Kedua, momentum pertumbuhan ekonomi yang harus dalam tren kenaikan. Karena itu dibutuhkan stimulus.

Ketiga, inflasi yang harus dijaga rendah. Pada 2017, Adrian memperkirakan inflasi masih akan di kisaran 3,6-3,7 persen. Meskipun ada kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah (administered price), seperti tarif dasar listrik (TDL) atau komponen energi lainnya pada tahun depan.

Halaman: