Pemerintah mematok penerimaan perpajakan Rp 1.495,9 triliun pada tahun depan. Target tersebut lebih rendah Rp 43,3 triliun dibanding tahun ini yang dibidik sebesar 1.539,2 triliun.
Target perpajakan ini seiring berkurangnya pendapatan negara yang dibidik hanya Rp 1.737,6 triliun, lebih rendah dari target Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Perubahan 2016 senilai Rp 1.786,2 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun ditaksir Rp 240,4 triliun, lebih kecil dari tahun ini sebesar Rp 245,1 triliun.
“Meskipun menghadapi tantangan yang cukup berat dengan rendahnya harga beberapa komoditas pertambangan seperti minyak bumi dan batubara, PNBP di 2017 ditargetkan Rp 240,4 triliun,” kata Jokowi saat menyampaikan Nota Keuangan 2017 di kompleks DPR, Selasa, 16 Agustus 2016. (Baca: Pajak Bisa Meleset 19 Persen, Anggaran Terancam Dipangkas Lagi).
Menurutnya, strategi kebijakan fiskal tahun depan diarahkan untuk memperkuat stimulus fiskal, memantapkan daya tahan fiskal, serta menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah. Untuk mencapai hal ini, penerimaan negara dibuat lebih pasti dan memberi momentum bagi bisnis untuk berkembang.
Di sisi penerimaan perpajakan, peningkatan dilakukan melalui berbagai terobosan, antara lain dengan implementasi kebijakan amnesti pajak mulai tahun ini. Kebijakan tersebut diharapkan memperkuat fondasi bagi perluasan basis pajak, sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. (Baca: Tujuh Jenis Belanja Kementerian Dipangkas Rp 65 Triliun).
Kebijakan perpajakan pun diarahkan untuk mendorong daya beli masyarakat, meningkatkan iklim investasi, dan daya saing industri nasional. Misalnya, melalui pemberian insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis, serta pengendalian konsumsi barang tertentu yang memiliki eksternalitas negatif.
Target Penerimaan Negara RAPBN 2017 (Rp Triliun)
2016 | RAPBN 2017 | ||
APBN | APBN-P | ||
Pendapatan Negara | 1.822,5 | 1.786,2 | 1.737,6 |
Penerimaan Perpajakan | 1.548,7 | 1.539,2 | 1.495,9 |
PNBP | - | 245,1 | 240,4 |
Sementara itu, Direktur Utama Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan ketimpangan antara realisasi dan target pajak atau shortfall bisa mencapai Rp 237,4 triliun tahun ini. Artinya, penerimaan pajak diprediksi hanya Rp 1.081 triliun dari target Rp 1.318,9 triliun. Selain karena potensinya memang minim, rencana pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) juga akan mengurangi penerimaan pajak.
Adapun serangkaian program dan insentif yang berpotensi menggerus penerimaan pajak yakni kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang fantastis, penurunan beberapa tarif pajak, perluasan cakupan tax holiday dan tax allowance, serta moratorium pemeriksaan. “Kalau kondisi seperti ini hanya 82 persen dari target. Memang harus realistis,” kata Prastowo kepada Katadata. (Baca: Sri Mulyani Sindir Pengusaha Tambang Pengemplang Pajak).
Namun jika penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) mampu mencapai target uang tebusan Rp 165 triliun, ia perkirakan penerimaan pajak mencapai 90 persen dari target atau Rp 1.187 triliun. Akan tetapi, uang tebusan yang realistis dicapai hanya Rp 80 triliun. Dengan perhitungan itu, penerimaan pajak hanya mampu tercapai 85 persen atau Rp 1.121 triliun.
Penurunan tarif pajak, kata dia, dikhawatirkan memicu balapan menuju jurang tarif rendah. Indonesia sebagai negara yang bergantung pada penerimaan pajak tentu dirugikan, karena yang dihadapi adalah negara yang tidak bergantung pada penerimaan pajak seperti Singapura.
Untuk menghadapi tax competition, kerja sama perpajakan (tax cooperation) menjadi pilihan yang lebih baik.
Meskipun, secara moderat, wacana penurunan tarif pajak ini bisa menjadi insentif bagi investasi, tetapi karena sistem perpajakan belum kuat justru dikhawatirkan malah menurunkan penerimaan pajak secara tajam. Untuk itu, reformasi pajak yang memungkinkan yakni merevisi UU Perpajakan. (Baca: Sri Mulyani Kritik Perhitungan Target Pajak Dua Tahun Terakhir).
Sebenarnya, bukan hanya Indonesia yang menurukan target pajak. Walau begitu, beberapa negara yang memangkas tarif tidak secara cepat membuat tax ratio naik. Artinya, ada beberapa prasyarat dan prakondisi yang diperlukan agar penurunan tarif ini efektif. “Hal ini menunjukkan kompleksitas dan saling berkaitan dengan bidang dan fungsi lain yang harus dipikirkan,” kata Prastowo.
Menurut dia, semestinya Presiden Jokowi fokus kepada pengawasan dan evaluasi amnesti pajak, menyiapkan strategi pascaamnesti, dan menuntaskan revisi UU Perpajakan dan aturan terkait. Selain itu memperbaiki kualitas birokrasi dan pembenahan administrasi agar menjadi landasan bagi sistem perpajakan baru.
“Sri Mulyani (Menteri Keuangan) perlu diberi ruang artikulasi yang lebih luas dan waktu yang longgar untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan cetak biru reformasi pajak,” ujarnya. (Lihat pula: Defisit Lebih 3 Persen, Chatib Basri Khawatir Dana Asing Kabur).