Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan pada Maret 2016 menurun dari periode yang sama pada 2015. Maret lalu, jumlah penduduk miskin 10,86 persen, setara 28,01 juta orang, lebih rendah dari Maret 2015 mencapai 11,2 persen, sekitar 28,59 juta penduduk.
Kepala BPS Suryamin mengatakan angka inflasi yang rendah merupakan pangkal dari penurunan penduduk miskin. Sejak September 2015 hingga Maret 2016, angka inflasi hanya 1,71 persen. Sedangkan kemiskinan pada September 2015 masih mencapai 11,1 persen.
“Pengendalian inflasi ini terkait erat dengan menurunnya angka kemiskinan,” kata Suryamin di kantornya, Jakarta, Senin, 18 Juli 2016. (Baca: Inflasi Rendah Berperan Turunkan Penduduk Miskin 80 Ribu Orang).
Dia memberikan contoh paling signifikan di mana penurunan harga ayam turun empat persen sejak September 2015 hingga Maret 2016. Sedangkan angka pengangguran terbuka pada Maret 2016 menurun 0,68 persen dari Agustus 2015.
Selain itu, rata-rata upah buruh tani pada Maret naik 1,75 persen dari September 2015. Adapun upah buruh bangunan pada periode yang sama naik 1,23 persen. (Baca juga: Laju Ketimpangan Orang Kaya-Miskin Indonesia Tercepat di Asia).
Rupanya, harga beras masih menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di desa (21,5 persen) maupun kota (29,5 persen). Sementara untuk komoditas bukan makanan, biaya perumahan merupakan komponen penyumbang kemiskinan terbesar.
“Komoditas lain yang menjadi penyumbang adalah rokok sebesar sembilan persen bagi kemiskinan di kota serta 7,9 persen kemiskinan desa,” kata Suryamin. (Lihat pula: Ketimpangan Turun, Ekonomi Masih Dikuasai 20 Persen Penduduk).
Walau secara total turun, persentase penduduk miskin perdesaan meningkat sepajang periode tersebut. Pada September 2015, jumlah orang miskin sebesar 14,09 persen kemudian naik menjadi 14,11 persen pada Maret lalu. Adapun penduduk miskin perkotaan menyusut dari 8,22 menjadi 7,79 persen.
Sedangkan berdasarkan wilayah, Maluku dan Papua merupakan area dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, yakni mencapai 22 persen. “Tapi kalau bicara jumlah, penduduk miskin di Pulau Jawa masih yang paling banyak 14,9 juta,” katanya.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati mempertanyakan angka batas garis kemiskinan milik BPS yang dianggap kurang realistis untuk menetapkan jumlah penduduk miskin. BPS menetapkan garis kemiskinan pada Maret 2016 sebesar Rp 354.386 per kapita, naik 7,14 persen pada Maret 2015.
Saya pikir sudah saatnya kita gunakan basis pengeluaran saja. Ini angkanya tidak konsisten,” ujar Enny.
Garis kemiskinan merupakan batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. BPS menetapkan penduduk miskin sebagai orang yang memiliki rata-rata pegeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dalam periode September 2015 – Maret 2016, garis kemiskinan naik 2,78 persen dari Rp 344.809 per kapita per bulan menjadi Rp 354.386. Sebagai indikatornya ada dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan.
Selain soal batas kemiskinan, Enny mengkritisi angka pengangguran terbuka yang menjadi alasan turunnya jumlah kemiskinan pada Maret 2016. Apalagi pengangguran terbuka dimotori oleh berkurangnya angka angkatan kerja. (Baca: Pengangguran Terbanyak Lulusan Sekolah Kejuruan dan Diploma).
Hal-hal seperti ini dinilai membuat kebenaran data BPS menjadi bias. “Baru angka pengangguran terbuka, belum yang terselubung,” katanya.