KATADATA - Amblesnya harga minyak mentah dunia hingga di kisaran US$ 30 per barel masih “memakan” korban. Dengan asumsi harga di posisi tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menghitung ada penurunan penerimaan negara hingga Rp 90 triliun.
Hitungan ini sudah termasuk lifting minyak dan gas yang lebih rendah dari target, yakni minyak sebesar 830 ribu barel per hari dan gas 1,155 juta barel setara minyak per hari. Efeknya, penerimaan Pajak Penghasilan migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor tersebut terpangkas.
“Pokok-nya, lifting tidak sesuai. Kami hitung yang terjelek-lah,” kata Bambang usai Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 17 Februari 2016. (Baca: “Pendosa” Pajak Akan Bebas dari Jeratan Pidana).
Di sisi lain, Bambang memperkirakan penerimaan negara tahun ini bisa naik 13 persen dibanding 2015, dengan pertumbuhan alamiah sebesar 10 persen. Angka itu berasal dari ekonomi yang ditargetkan tumbuh 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen. Juga, ditambah dengan upaya lebih lainnya yang bisa menambah penerimaan tiga persen.
Walau demikian, berkurangnya peneriman akibat kejatuhan harga minyak tadi akan berpotensi memunculkan selisih antara penerimaan dan target pajak hingga Rp 350 triliun pada tahun ini. Jumlah shortfall ini akan sedikit berkurang menjadi Rp 290 triliun bila pemerintah berhasil mengegolkan rencana pengampunan pajak. Pasalnya, dari kebijakan tax amnesty tersebut, pemerintah memperkirakan setidaknya akan meraup Rp 60 triliun.
“Makanya saya ngomong RUU Tax Amnesty,” ujar Bambang. Penerimaan pajak, dia melanjutkan, akan terlihat lebih akurat setelah tax amnesty dipastikan berjalan. (Baca: Perubahan APBN 2016 Menunggu Kepastian Tax Amnesty).
Rencananya, beleid untuk menambah penerimaan pajak ini akan dibahas setelah pembahasan pendahuluan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Pembahasan itu dilakukan pada Mei 2016. Artinya, RUU Pengampunan Pajak baru akan dibahas Juni. Setelah itu pemerintah akan mengajukan pembahasan APBN Perubahan 2016. Salah satunya untuk merevisi asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang sebesar US$ 50 per barel dalam APBN 2016.
Setelah dua hingga tiga bulan pengampuna pajak berjalan, pemerintah bisa menghitung potensi penerimaan negara yang diperoleh. Menurut Bambang, kebijakan ini semestinya menjawab kekhawatiran bahwa mengejar penerimaan pajak bisa mengganggu iklim usaha. Sebab, melalui tax amnesty ini pemerintah yakin basis pajak akan meningkat, terutama untuk menggaet penerimaan dari wajib pajak per orangan bukan karyawan. Kelompok ini baru menyumbang Rp 9 triliun dari penerimaan pajak tahun lalu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)Yustinus Prastowo mengatakan tertundanya pembahasan beleid ini akan mengurangi kepercayaan masyarakat. Sebab, kepastian kebijakan dianggap penting oleh wajib pajak. Sebab, mereka harus membuat perkiraan dan rencana usaha ke depan. Padahal jika diterapkan pada April, wajib pajak bisa menyelesaikan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan dan tax amnesty bersamaan. Tetapi, potensinya berkurang jika baru berlaku Juli. (Lihat pula: Menteri Keuangan akan Pangkas Target Pajak Sesuai Kondisi Ekonomi).
Ada dua efek yang bakal terjadi terkait penundaan kebijakan tersebut, yakni mendapat penolakan karena wajib pajak terlalu lama menunggu pengampunan pajak. Dan kalau dipaksanakan, akan menciptakan ketidakadilan. “Tax amnesty pasti peminatnya banyak. Tapi jangan sampai momentum hilang,” kata Prastowo kepada Katadata.