KATADATA - Tren deflasi masih terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama bulan Oktober lalu terjadi deflasi sebesar 0,08 persen. Meski angka deflasi tersebut membesar dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 0,05 persen, Bank Indonesia (BI) diramal belum akan mau menurunkan suku bunga acuan BI rate pada akhir tahun ini.
Deflasi bulan Oktober 2015 karena adanya penurunan harga pada kelompok pengeluaran bahan makanan sebesar 1,06 persen. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga adalah cabai merah, daging ayam ras, cabai rawit, telur ayam ras, tarif listrik, bahan bakar rumah tangga dan bensin. Sedangkan komoditas yang mengalami kenaikan harga yaitu kelompok makanan jadi, seperti beras, bawang merah, mie, rokok kretek dan filter, hingga kontrakan rumah, dan mobil.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan elpiji berhasil mengendalikan harga bahan makanan dan kebutuhan pokok. "Jadi ada pengaruh harga bahan pangan akibat turunnya harga BBM, elpiji dan TDL," katanya di Gedung BPS, Jakarta, Senin (2/11).
Sekadar informasi, pemerintah memang meluncurkan paket kebijakan ekonomi Jilid III pada awal Oktober lalu, yang memuat penurunan harga sejumlah produk BBM dan energi. Harga BBM jenis Solar turun Rp 200 per liter menjadi Rp 6.700 per liter.
Sedangkan harga elpiji 12 kilogram (kg) turun dari Rp 141.000 per tabung menjadi Rp 134.000 per tabung, yang sebenarnya telah berlaku sejak September lalu. Selain itu, tarif listrik turun 30 persen bagi pelanggan yang melakukan pemakaian listrik pada pukul 23.00 sampai 08.00. Adapun tarif listrik untuk pelanggan industri golongan I diturunkan sebesar Rp 12-Rp 13 per kWh mengikuti penurunan harga minyak bumi.
(Baca: Harga Solar dan Gas Industri Turun, Tarif Listrik Diberi Diskon)
Jika dihitung berdasarkan tahun kalender, tingkat inflasi Januari–Oktober 2015 sebesar 2,16 persen atau lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang sebesar 4,19 persen. Sedangkan inflasi secara tahunan per Oktober 2015 (year on year) sebesar 6,25 persen. Meski begitu, pada Oktober 2015 masih terjadi inflasi komponen inti sebesar 0,23 persen. Laju inflasi inti sebenarnya sudah mereda dibandingkan dua bulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 0,52 persen dan 0,44 persen. Alhasil, tingkat inflasi inti tahun kalender (Januari–Oktober 2015) mencapai 3,55 persen dan secara tahunan sebesar 5,02 persen.
Sekadar informasi, inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi. Ini dipengaruhi faktor fundamental seperti permintaan-penawaran, faktor eksternal seperti nilai tukar, harga komoditas internasional, serta inflasi mitra dagang, dan faktor harga pedagang dengan konsumen.
(Baca: Tekanan Harga Berkurang, September Deflasi 0,05 Persen)
Chief Economist South Asia, ASEAN & Pacific ANZ Bank Glenn Maguire menilai, laju deflasi bulan Oktober lalu sebesar 0,08 persen lebih cepat dibandingkan konsensus para analis sebesar 0,02 persen. Kondisi tersebut diperkirakan masih bakal terus berlanjut dalam dua bulan terakhir tahun ini, yaitu rata-rata deflasi bulanan sebesar 0,1 persen. Penyebabnya adalah penurunan harga pangan dan penundaan kenaikan tarif listrik.
Berdasarkan taksiran itu, Glenn menghitung inflasi pada akhir November nanti sudah di bawah 5 persen dan inflasi di akhir Desember 2015 cuma sedikit di atas 2 persen. Pekan lalu, BI memperkirakan inflasi pada akhir tahun bisa di bawah 4 persen, bahkan mencapai 3,6 persen. Ini lebih rendah dari prediksi awal sebesar 4,3 persen.
(Baca: Ekonomi Kuartal III Tumbuh 4,85 Persen, BI: Bunga Turun kalau Didukung Data)
Meski begitu, Glenn meragukan peluang bank sentral menurunkan BI rate di akhir tahun ini. "Kami tidak percaya dorongan deflasi ini akan cukup untuk membuat kebijakan 'menggoyangkan ruang' BI untuk menurunkan suku bunga tahun ini," katanya, seperti dikutip dari riset ANZ hari Senin ini (2/11). Pasalnya, masih ada kekhawatiran terhadap dampak rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunganya pada Desember nanti.
Glenn menyebutkan beberapa indikator yang bisa membuka ruang lebih lebar bagi penurunan BI rate akhir tahun ini atau pada awal tahun depan. Antara lain, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2015, produksi domestik dan stabilitas mata uang rupiah. "Kami akan melihat angka PDB (produk domestik bruto) kuartal III yang akan diumumkan 5 November nanti, sebagai bukti lebih lanjut apakah perlambatan ekonomi Indonesia mereda," katanya.