Sesuai Prosedur, PPN Migas Rp 1,8 Triliun Tak Bisa Dikembalikan

Arief Kamaludin|KATADATA
Kementerian Keuangan hanya bisa mencairkan klaim PPN migas senilai Rp 1 triliun berdasarkan ketentuan PMK 65/2005
Penulis: Safrezi Fitra
21/9/2015, 14.50 WIB

KATADATA ? Kementerian Keuangan mengaku tidak bisa memproses tagihan pembayaran kembali (reimbursement) pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dari kontraktor migas. Nilai klaim reimbursement tersebut mencapai Rp 1,8 triliun.

Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian Keuangan Anandy Wati mengatakan pihaknya sudah melakukan sesuai prosedur yang ditetapkan. Kementerian tidak bisa memproses tagihan tersebut karena pengajuannya sudah melewati batas waktu. ?Kami tidak  bisa proses itu,? kata dia kepada Katadata, beberapa waktu lalu.

(Baca: Pemerintah Tolak Kembalikan PPN Kontraktor Migas Rp 1,8 Triliun)

Permasalahan ini bermula saat diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 218 Tahun 2014 tentang reimbursement PPN dan PPnBM sektor migas, pada 5 Desember tahun lalu. PMK ini merevisi aturan sebelumnya, yakni PMK 64/2005. Masalahnya ada beberapa PPN dan PPnBM yang pada PMK 64/2005 bisa dibayarkan kembali, tapi pada PMK 218/2014 tidak bisa.

Menurut Anandy, pembahasan PMK 218/2014 sebenarnya sudah dilakukan bersama kontraktor migas dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Makanya Kementerian Keuangan memberikan masa transisi pemberlakuan PMK yang baru ini selama 60 hari sejak diterbitkan. Artinya kontraktor migas masih bisa mengajukan klaim reimbursement dengan mengacu ketentuan PMK 64/2005, hingga 2 Februari 2015.

Dalam masa transisi tersebut, Kementerian Keuangan hanya menerima pengajuan klaim senilai Rp 1 triliun. Kementerian Keuangan pun telah membayarkan klaim tersebut. Sementara SKK Migas mengajukan klaim baru senilai Rp 1,77 triliun pada  30 Maret 2015. Karena batas waktunya sudah berakhir, Kementerian Keuangan mengembalikan dokumen pengajuan klaim tersebut kepada SKK Migas.

SKK Migas memang mengusulkan agar tanggal berlaku efektif peraturan tersebut adalah tanggal pembuatan surat permohonan kembali PPN oleh KKKS. Artinya asalkan dokumen tagihan sudah sampai SKK Migas 3 Februari 2015, tagihan tersebut masih bisa menggunakan PMK 64/2005. Namun, Anandy mengaku pihaknya tidak pernah menyetujui permintaan SKK Migas tersebut. ?Isi surat tanggapan DJA (Direktorat Jenderal Anggaran) itu menyebut SKK Migas mengharapkan seperti itu. Tapi kami tidak memberikan persetujuan? ujarnya.

Ada kesalahpahaman dalam menerjemahkan pemberlakuan aturan yang baru ini, khususnya mengenai batas waktu berlakunya masa transisi. Kepala Dinas Perpajakan SKK Migas A Rinto Pudyantoro mengatakan pihaknya sudah meminta klarifikasi kepada DJA Kementerian Keuangan mengenai batas penyerahan dokumen klaim ini. Apakah masa transisi 60 hari itu merupakan batas pengajuan klaim ke SKK Migas, atau sudah sampai di DJA.

?Penjelasannya dan penegasannya sudah diberikan DJA, ya kami laksanakan. Ketika ditanyakan (pada kontraktor) rupanya dalam pelaksanaan menuai protes,? ujar Rinto.

(Baca: Klaim PPN Ditolak, Pelaku Migas Minta Pemerintah Hormati Kontrak)

Di luar permasalahan klaim yang tidak bisa dibayarkan ini, ternyata kontraktor migas mempermasahkan adanya PMK 218/2014. Dalam kontrak KKKS sebelum tahun 2010, kata Rinto, berlaku kentuan assume and discharge. Artinya bagian kontraktor bersih, tanpa menangung pajak tidak langsung. Namun, UU Migas tahun 2001 menyebut ketentuan lain. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa pelaku usaha migas wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Setahun sebelumnya, UU 18 tahun 2000 sudah menetapkan industri migas dikenakan PPN. Ketentuan ini diperkuat dengan (PMK) 11 tahun 2005 tentang penunjukan kontraktor migas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. PPN yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebesar 10 persen dari dasar pengenaan pajak.

Karena menuai protes, akhirnya pemerintah pun memutuskan kontraktor migas tetap membayar PPN, yang kemudian dikembalikan lagi oleh pemerintah. Kementerian Keuangan pun mengeluarkan PMK 64/2005 tentang mekanisme dan tata cara reimbursement tersebut. Dengan PMK tersebut, semua PPN yang dibayarkan kontraktor bisa dikembalikan. Tahun lalu, kementerian merevisi aturan tersebut, diantaranya membatasi beberapa PPN tidak bisa diajukan reimbursement.

Sumber Katadata di industri migas mengatakan sebelum adanya PMK 218/2014, total klaim reimbursement PPN mencapai belasan triliun. Setelah adanya PMK tersebut, total pengajuan reimbursement yang masuk ke SKK Migas untuk masa transisi mencapai Rp 6 triliun. Namun, yang bisa terverifikasi dan masuk ke Kementerian Keuangan hanya Rp 2,77 triliun. Kementerian Keuangan hanya bisa mencairkan Rp 1 triliun dengan mengacu ketentuan PMK 64/2005. Sementara Rp 1,77 belum tentu bisa cair seluruhnya, karena harus mengacu PMK yang baru.

Reporter: Arnold Sirait, Manal Musytaqo