KATADATA – Kekalahan beruntun yang dialami koalisi partai pendukung presiden terpilih Joko Widodo di parlemen dapat menimbulkan berkurangnya ekspektasi terhadap efektivitas pemerintahannya.
Hal ini tercermin pada turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga 2,73 persen pada perdagangan kemarin. Sebelumnya pada 26 September lalu, IHSG tercatat turun 1,6 persen setelah sidang paripurna DPR memutuskan mengesahkan RUU Pemilihan Kepada Daerah.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi mengatakan, terutama di mata investor pasar keuangan, kekalahan beruntun tersebut menunjukkan tantangan yang bakal dihadapi Jokowi sangat besar. (Baca: Pasar Khawatir Jokowi Kalah dalam Pilpres)
Dengan komposisi kursi yang lebih kecil, mereka mengkhawatirkan jika kebijakan yang dibuat oleh mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut akan terus direcoki oleh parlemen.
“Investor di pasar saham kan sangat memperhatikan kestabilan jalannya pemerintahan,” kata Dodi saat dihubungi Katadata, Jumat (3/10). (Baca: IHSG Jatuh karena Koalisi Jokowi Gagal Kuasai Parlemen)
Ada banyak celah yang dapat dilakukan oleh koalisi Prabowo untuk mengganjal jalannya pemerintahan Jokowi. Mereka bisa menggunakan sejumlah hak konstitusional DPR , seperti interpelasi atau hak angket.
Hal ini, menurut dosen di Universitas Gadjah Mada ini, dapat menciptakan kekacauan di tingkat elite, sehingga menimbulkan kesan situasi politik yang tidak stabil. Namun, kondisi ini bisa menjalar ke ranah publik bilamana ada kebijakan yang memengaruhi kehidupan masyarakat tidak dapat diimplementasikan karena diganggu oleh DPR.
(Baca: Pasar Takut Kebijakan Ekonomi Jokowi Tersandera)
Setidaknya terdapat dua cara yang dapat dilakukan Jokowi untuk menyelesaikan persoalan ini. Pertama, dengan kembali pada pola transaksi politik. Ini bisa menjadi bumerang bagi Jokowi karena menunjukkan dirinya sama dengan politisi lain. “Tapi hambatan di tingkat elite berkurang,” tuturnya.
Kedua, dengan menjalankan politik anti-partai di DPR. Ini berarti setiap akan mengeluarkan kebijakan, Jokowi langsung meminta dukungan publik untuk kemudian memberi tekanan kepada parlemen.
“Teknik ini sering dilakukan George Bush saat menghadapi kongres Amerika Serikat yang dikuasai Partai Demokrat,” kata Dodi. (Baca: Ini Sebab Deklarasi Capres Direspons Negatif Pasar)
Meski begitu, politik anti-partai ini tetap akan menghadapi permasalahan, yakni bagaimana bentuk pengorganisasiannya. Apalagi terdapat ketidakpedulian para elite terhadap aspirasi masyarakat.
“Contohnya penunjukkan Setya Novanto sebagai ketua DPR, meskipun banyak yang menentangnya.”
Selain itu, Jokowi tetap harus mengonsolidasikan partai pendukungnya supaya dapat mengimplementasikan kebijakannya di DPR. (Baca: Koalisi "Gemuk" Prabowo Bikin Panas Dingin Pasar)