Anjloknya Impor Barang Modal & Bahan Baku Ancam Pertumbuhan Ekonomi RI

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Neraca perdagangan pada Mei mencatatkan surplus sebesar US$ 2,1 miliar.
15/6/2020, 14.21 WIB

Badan Pusat Statistik memperingatkan pemerintah penurunan impor bahan baku dan barang modal yang curam pada Mei 2020. Total impor secara keseluruhan US$ 8,44 miliar, turun 32,65% dibanding April dan 42,2% dibanding periode yang sama tahun lalu. 

"Impor bahan baku berpengaruh besar kepada pergerakan industri yang akan berpengaruh pada perdagangan. Sementara impor barang modal harus diperhatikan karena ini untuk pertumbuhan ekonomi dari segi investasi," ujar Suhariyanto dalam konferensi video, Senin (15/6).

Suhariyanto memerinci, nilai impor bahan baku atau penolong pada Mei lalu hanya sebesar US$ 6,11 miliar. Angka tersebut menurun 34,66% secara bulanan dan 43,03% secara tahunan.

Adapun struktur impor bahan baku merupakan yang tertinggi yakni 72,42% dalam total nilai impor Indonesia. Penurunan impor bahan baku secara bulanan, antara lain terjadi pada  gula kristal dan gandum. 

Sementara  impor barang modal tercatat US$ 1,39 miliar, turun 29,01% secara bulanan dan 40% secara tahunan. Komoditas yang menurun pada impor barang modal secara bulanan, yakni alat untuk telepon dan komputer, mesin pengepakan, dan oven. Porsi impor barang modal pada total impor nasional sebesar 16,51%.

(Baca: Impor Makin Anjlok, Neraca Perdagangan Mei Surplus US$ 2,09 Miliar)

Sementara, nilai impor barang konsumsi juga menurun menjadi US$ 930 juta, terkontraksi 23,08% secara bulanan dan 39,83% secara tahunan. Secara bulanan, komoditas yang menurun yakni mesin AC, jeruk mandarin, dan kurma. Impor barang konsumsi hanya menyumbang 11,07% dari total impor RI.

Dengan demikian, Suhariyanto menilai neraca perdagangan RI yang mencatatkan surplus US$ 2,1 miliar pada bukan kabar yang menggembirakan. "Ini perlu diperhatikan dan diwaspadai," kata dia.

Berdasarkan golongan barang HS 2 digit, penurunan nilai impor terdalam terjadi pada golongan barang mesin dan peralatan mekanis yang anjlok US$ 560 juta atau 30,56% dari US$ 1,83 miliar menjadi US$ 1,27 miliar.

Diikuti penurunan impor golongan mesin dan perlengkapan elektrik yang turun US$ 526 juta atau 31,55% dari Rp 1,67 miliar menjadi US$ 1,14 miliar. Lalu, impor barang besi dan baja yang anjlok US$ 283,6 juta atau 42,46% dari US$ 667,9 juta menjadi US$ 384,3 juta.

Selanjutnya, nilai impor plastik dan barang dari plastik turun US$ 266,8 juta atau 38,58% dari US$ 691,6 juta menjadi US$ 424,8 juta. Nilai impor golongan barang bahan kimia organik turun US$ 201,3 juta atau 40,24% dari US$ 500,2 juta menjadi US$ 298,9 juta.

(Baca: Meski Dibuka Menguat, Nilai Tukar Rupiah Dibayangi Potensi Pelemahan)

Berdasarkan asal negaranya, penurunan impor paling tajam berasal dari Tiongkok yakni turun US$ 1,41 miliar atau 37,68% dari US$ 3,75 miliar menjadi US$ 2,34 miliar. Impor dari Jepang, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan juga menurun cukup dalam masing-masing turun US$ 672,4 juta, US$ 321,3 juta, US$ 199,2 juta, dan US$ 157,6 juta.

Baru-baru ini, Bank Dunia memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 0%. Perkiraan ini didasarkan atas dampak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ekonom Senior Bank Dunia Ralph van Doorn menjelaskan, akibat penerapan PSBB selama dua bulan beberapa komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi juga ikut terpengaruh. Konsumsi rumah tangga misalnya, diperkirakan melambat seiring adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat aktivitas ekonomi melambat.

Kepercayaan konsumen pun diperkirakan ikut menurun pada tahun ini. Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak ekonomi Indonesia, dengan andil sebesar 56,62% terhadap pertumbuhan ekonmi sepanjang 2019.

"Pertumbuhan ekonomi baru kembali normal pada 2021, sebesar 5,4%. Kemudian, dua tahun berikutnya stabil, yakni 5,5% pada 2022, dan 5,3% pada 2023," kata van Doorn, dalam sebuah webinar, Selasa (2/6).

Selain konsumsi, van Doorn menyorot faktor investasi yang akan makin melambat tahun ini. Hal ini terjadi seiring dengan besarnya ketidakpastian global, penurunan harga komoditas, dan pelemahan aktivitas ekonomi. Tahun lalu, investasi memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 32,33%.

Reporter: Agatha Olivia Victoria