Sri Mulyani Sebut Ekonomi Global Berpotensi Depresi Akibat Covid-19

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR. Sri Mulyani menyebut perekonomian dunia berpotensi depresi akibat pandemi corona.
Editor: Ekarina
2/7/2020, 08.04 WIB

Pandemi corona telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi global secara signifikan. Terlebih lagi, penyebaran Covid-19 hingga saat ini tak kunjung usai dengan lebih dari 10,7 juta kasus di seluruh dunia. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai ekonomi global telah memasuki resesi. "Bahkan beberapa menggambarkannya sebagai potensi depresi," kata Sri Mulyani dalam diskusi virtual Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (1/7).

Dia menyebut banyak negara akan kehilangan kemajuan yang telah dicapai dalam dua hingga tiga dekade terakhir akibat Covid-19. Salah satunya, pengentasan kemiskinan hingga pencapaian kesejahteraan masyarakat. 

"Indonesia misalnya, mulai mengalami kemunduran pengentasan kemiskinan yang telah dicapai dalam 5 tahun terakhir karena pandemi  yang sudah berlangsung selama enam bulan pertama," ujarnya.

(Baca: Sri Mulyani Nilai Bantuan Multilateral Tak Cukup untuk Tangani Pandemi)

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menambahkan, pandemi mempengaruhi ekonomi negara secara signifikan. Terutama, pada sumber pembiayaan negara untuk mencapai tujuan pembangunan.

Dalam hal ini, sumber pembiayaan yang paling menurun yaitu penerimaan pajak. Ini dikarenakan, seluruh kegiatan ekonomi yang telah terkontraksi selama pandemi Covid-19.

Padahal, pada saat yang sama, kebutuhan untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, baik merangsang kembali perekonomian meningkat secara drastis hingga menyebabkan pelebaran defisit. 

Awalnya, defisit APBN 2020 dirancang sebesar 1,7% dari PDB, sangat kecil dibandingkan banyak negara lain dunia. Namun, saat datangnya pandemi, defisit fiskal melebar hingga 6,3%.

Kondisi tersebut, menurutnya dihadapi negara lainnya. Oleh karena itu, pembiayaan untuk memenuhi defisit anggaran tersebut menjadi tantangan baru saat ini.

Dengan adanya pembiayaan anggaran yang meningkat, Sri Mulyani menyebut rasio utang terhadap PDB berpotensi melonjak hingga 37% dalam satu tahun. "Padahal awalnya Indonesia beruntung karena memiliki utang yang jauh lebih rendah yakni 30% terhadap PDB," ujarnya.

(Baca: Sri Mulyani: Krisis Covid-19 Dorong Reformasi Kebijakan Lebih Ambisius)

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rp 5.258,57 triliun per Mei 2020. Nilai ini meningkat dari posisi bulan sebelumnya yang berkisar Rp5.172,48 triliun seiring dengan tingginya kebutuhan pembiayaan akibat pandemi corona.

Anggaran penanganan pandemi virus corona pun bertambah dari Rp 677,2 triliun, menjadi Rp 695,2 triliun yang difokuskan untuk membantu korporasi, UMKM dan perlindungan sosial memasuki fase normal baru.

Adapun utang pemerintah masih didominasi Surat berharga Negara yang porsinya 84,49%. Sedangkan porsi pinjaman hanya 15,51%.  Dengan demikian, rasio utang tercatat mencapai 32,09% dari PDB, naik dari bulan sebelumnya di angka 31,78%.

Reporter: Agatha Olivia Victoria