Pendapatan Negara Turun 9,8%, Defisit APBN Semester I Capai Rp 257,8 T

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berjalan memasuki ruangan untuk mengikuti rapat kerja tertutup dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
9/7/2020, 14.48 WIB

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi defisit APBN hingga Juni 2020 mencapai Rp 257,8 triliun, naik 90,7% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 135,1 triliun. Salah satu penyebabnya yaitu pendapatan negara yang turun hingga 9,8%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pendapatan negara hanya mencapai Rp 811,2 triliun, turun dari realisasi semester I tahun lalu yang sebesar Rp 899,6 triliun. "Ini sesuai estimasi kami dimana pendapatan negara akan minus sekitar 10%," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Kamis (9/7).

Dengan demikian, rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat 1,57%. Sebagaimana diketahui, target defisit APBN 2020 diperlebar dalam Perpres Nomor 72 tahun 2020. Hal tersebut karena target belanja negara diperbesar menjadi Rp 2.739,2 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 1.699,9 triiun.

Sri Mulyani memaparkan, realisasi pendapatan negara hingga semester I 2020 terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 624,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 184,5 triliun, dan penerimaan hibah Rp 1,7 triliun.

(Baca: Pemerintah dan BI Berbagi Beban Memulihkan Ekonomi)

Penerimaan perpajakan yang terkontraksi 9,4% terdiri dari penerimaan pajak Rp 531,7 triliun, turun 12% serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 93,2 triliun, naik 8,8%. Sementara itu PNBP yang turut terkontraksi 11,8% terdiri dari PNBP SDA Rp 54,5 triliun, turun 22,9% dan PNBS Non SDA Rp 130 triliun, turun 6,1%.

Meski realisasi pendapatan negara masih seret, belanja negara justru tumbuh 3,3% menjadi Rp 1.068,9 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 668,5 triliun, naik 6% dan belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 400,4 triliun, tumbuh 0,8%.

Belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 668,5 triliun, tumbuh 6%. "Tingginya belanja pemerintah pusat sebagai dampak dari belanja penanganan Covid-19," ujar Sri Mulyani.

Adapun belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja kementerian/lembaga Rp 350,4 triliun, naik 2,4% dan belanja non-k/l Rp 318,1 triliun, tumbuh 10,3%.

(Baca: Jokowi Teken Pepres Revisi Kedua APBN 2020, Defisit Anggaran Rp1.039 T)

Untuk menutupi defisit yang melebar cukup besar pada paruh pertama tahun ini, realisasi pembiayaan anggaran telah mencapai Rp 416,2 triliun, tumbuh 136% dari realisasi periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp 176,3 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan tingginya pertumbuhan pembiayaan anggaran disebabkan oleh kebutuhan penanganan Covid-19 yang semakin banyak. "Sehingga kami melakukan pembiayaan lebih besar di awal," kata dia.

Adapun defisit anggaran tahun ini diproyeksikan melebar menjadi 6,3% dari dari 5,07%. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, upaya penurunan defisit APBN dilakukan secara bertahap. Karena apabila pada 2021 defisit APBN langsung turun ke 3% justru akan membahayakan perekonomian.

Defisit APBN pada 2021 ditargetkan masih mencapai 4,2%. Kemudian diturunkan bertahap menjadi 3,6% pada 2022 dan baru pada 2023 di bawah 3%, yaitu 2,7%.

(Baca: Pemerintah Patok Defisit APBN 2021 hingga 4,17% terhadap PDB)

Reporter: Agatha Olivia Victoria