Pandemi Covid-19 membuat Indonesia dan berbagai negara di dunia memasuki jurang resesi. Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, krisis Covid-19 tak separah krisis 1998 dan 2008.
Menurutnya, Indonesia perlu waktu lebih dari dua tahun untuk bangkit dari krisis 1998. Sedangkan pada 2008, pemulihan ekonomi membutuhkan waktu lebih dari satu tahun.
Sementara itu, Airlangga mulai melihat tanda-tanda pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19 mulai terjadi dalam waktu kurang dari satu tahun. "Sehingga tentu ini memberikan optimisme," kata Airlangga dalam Penutupan Perdagangan Bursa Efek Indonesia Tahun 2020, Rabu (30/12).
Indeks Harga Saham Gabungan mulai membaik ke level 6.000 menjelang akhir tahun ini. Padahal, IHSG sempat menyentuh level terendah yaitu 3.937 pada Maret 2020.
Kegiatan penghimpunan dana melalui pencatatan perdana saham baru alias initial public offering (IPO) mencapai 51 perusahaan pada tahun 2020. Capaian tersebut sebenarnya lebih sedikit dibandingkan 2019 yang mencapai 55 perusahaan, namun mengingat di tengah pasar saham yang fluktuatif, capaian tersebut patut diapresiasi.
Selain itu, nilai tukar rupiah sudah membaik ke kisaran Rp 14 ribu per dolar AS dari Rp 16 ribu pada bulan Maret lalu. Kurs Garuda relatif lebih baik dibanding negara lain speerti India, Brazil, Turki, dan Afrika Selatan.
Berikut adalah Databoks yang menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi global mulai tampak setelah kuartal II 2020:
Airlangga melanjutkan, modal asing yang sempat mengalir keluar besar-besaran pada bulan maret 2020 sudah mulai terlihat kembali. Nett inflow tercatat US$ 1,2 miliar pada Oktober 2020 dan US$ 1,3 miliar pada November 2020. "Ini mendorong juga kepercayaan internasional terhadap perekonomian RI yang cukup baik," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya, dalam beberapa indikator, memang krisis akibat virus corona tak separah tahun 1998 dan 2008.
Dalam indikator perbankan misalnya, rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) saat ini masih berada dalam tahap aman. Begitu juga dengan indikator lain seperti Biaya Operasional dibanding Pendapatan Operasional (BOPO) ataupun rasio intermediasi bank atau loan to deposit ratio (LDR).
"Proses pemulihan ekonominya juga telah terlihat dalam waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan periode krisis sebelumnya," ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (30/12).
Menurutnya, pembeda krisis Covid-19 dengan krisis sebelumnya adalah ikut terdampaknya Usaha Mikro Kecil dan Menengah secara signifikan, suatu hal yang tidak terjadi pada krisis sebelumnya. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian.
Seperti diketahui, UMKM merupakan salah satu penopang ekonomi Indonesia. Sumbanganya terhadap Produk Domestik Bruto mencapai 60%.
Dengan proses pemulihan ekonomi yang lambat, Yusuf mengingatkan bahwa akan semakin banyak UMKM yang terdampak. Ini merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam krisis yang terjadi akibat pandemi.
Sebelumnya, Pemimpin Layanan Keuangan Global PwC Amerika Serikat John P. Garvey dalam risetnya menjelaskan dukungan melalui berbagai stimulus pemerintah dan bank sentral di masing-masing negara kepada masyarakat dan dunia usaha, sejauh ini cukup mampu membatasi kerusakan neraca perbankan.
"Ini bisa mencegah penularan yang pernah terjadi selama krisis keuangan global pada 2008," seperti dikutip dari risetnya yang diterima Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Meski begitu, industri perbankan tetap terdampak karena memburuknya kualitas kredit nasabah akibat pandemi Covid-19. Dampaknya diprediksi bisa dirasakan di seluruh perekonomian riil selama beberapa tahun mendatang. "Dalam jangka panjang, dampak ekonomi dari krisis kemungkinan besar masih akan mempengaruhi sektor jasa keuangan di tahun-tahun mendatang," kata John.