- Penerimaan pajak pada tahun lalu mengalami kekurangan atau shortfall Rp 128,8 triliun,
- Target penerimaan pajak dalam APBN 2021 dipatok Rp 1.229,6 triliun, naik 14,9% dibandingkan realisasi sementara tahun lalu.
- Pola pemulihan penerimaan pajak diperkirakan lebih lambat dari perekonomian.
Pandemi Covid-19 memukul penerimaan pajak pada tahun lalu ke level terendah dalam lima tahun terakhir, hanya mencapai Rp 1.070 triliun. Kekurangan penerimaan atau shortfall mencapai Rp 128,8 triliun meski target telah dipangkas hingga dua kali mencapai Rp 443,8 triliun dari target awal APBN 2020
Berdasarkan data realisasi sementara APBN 2020, penerimaan pajak sepanjang tahun lalu hanya mencapai 89,3% dari target atau Rp 1.070 triliun. Penerimaan ini anjlok 19,7% dibandingkan tahun sebelumnnya. Adapun jika dibandingkan dengan target awal APBN 2020 atau sebelum pandemi, kekurangan penerimaan atau shortfall pajak mencapai Rp 572,6 triliun.
Pekerjaan pemerintah untuk mengumpulkan penerimaan pajak tahun ini pun kian berat seiring pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Dalam APBN 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.229,6 triliun. Target tersebut naik 2,6% dibandingkan target dalam Perpres 72 Tahun 2020, tetapi mencapai 14,91% dibandingkan realisasi sementara 2020.
Pemerintah berharap pada tahun ini dapat mengumpulkan Pajak Penghasilan atau PPh mencapai Rp 683,8 triliun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah mencapai Rp 518,6 triliun, Pajak Bumi Bangunan Rp 14,8 triliun, dan pajak lainnya Rp 12,4 triliun.
Namun berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hanya tumbuh rata-rata 6,4% pada 2016 hingga 2019. Pada periode tersebut, pertumbuhan pajak tertinggi terjadi pada 2018 mencapai 14,1% dan terendah pada 2019 yang hanya 1,5%.
Pengamat Pajak INDEF Nailul Huda menjelaskan, penerimaan pajak sebesar Rp 1.229,6 triliun akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Langkah optimal yang dapat dilakukan pemerintah adalah menyesuaikan target penerimaan pajak. Apalagi, pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksi hanya mencapai 2,5% dan inflasi sebesar 2%.
"Pertumbuhan alamiah pajak tahun ini hanya akan mencapai 4.5%. Untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 15% berarti harus ada tambahan effort sekitar 10.5 persen. Ini tentu bukan angka yang mudah," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, target penerimaan pajak pada tahun ini sebaiknya diturunkan menjadi Rp 1.105,2 triliun hingga Rp 1.117,2 triliun.
Basis penerimaan pajak yang rendah pada tahun lalu, menurut dia, juga akan membuat penerimaan pajak pada tahun-tahun ke depan akan lebih sulit. Untuk itu, menurut dia, perlu ada langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, memperluas basis pajak dengan membuat sistem untuk meningkatkan potensi ekstensifikasi secara online. Kedua, memperluas jangkauan pelayanan dari Kantor Pajak Pratama (KPP) dengan membuat lebih banyak Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di daerah-daerah potensial guna mendekatkan diri dengan para calon WP. Ketiga, mengurangi insentif perpajakan yang tidak efektif.
Pengamat pajak dari DDTC Bawono menjelaskan, target penerimaan pajak pada tahun ini semakin menantang karena shortfall besar yang terjadi pada tahun lalu. Pemulihan penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi.
"Selama optimisme publik membaik, terutama atas pengelolaan kondisi kesehatan, maka aktivitas ekonomi akan cepat pulih dan penerimaan pajak dapat dioptimalkan. Namun, pemulihan penerimaan pajak umumnya lebih lambat dari perekonomian," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Senin (11/1).
Butuh Waktu Lebih Lama untuk Pulihkan Pajak
Menurut Bawono ada jeda bagi penerimaan pajak untuk bisa kembali ke pola sebelum resesi ekonomi akibat pandemi. Berdasarkan proyeksi yang dibuat DDTC Fiscal Research, penerimaan pajak pada tahun ini akan mencapai Rp 1.119,9 triliun hingga Rp1.211,5. Rentang nilai tersebut setara dengan 91,1%-98,5% terhadap target APBN 2021 Rp 1.229,6 triliun.
"Basis pajak yang rendah pada tahun lalu tentu akan mempengaruhi penerimaan pajak pada tahun-tahun ke depan," katanya.
Adapun untuk mengoptimalkan penerimaan, menurut dia, pemerintah perlu melakukan upaya lebih untuk mengantisipasi kekurangan penerimaan pajak tanpa mendistorsi ekonomi terlalu dalam. Pemerintah, antara lain dapat meninjau berbagai kebijakan yang selama ini membuat pemungutan pajak tidak optimal seperti PPh final, threshold pendapatan kena pajak, dan berbagai kebijakan lainnya. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kepatuhan melalui sistem TI dan pengawasan berbasis compliance risk management.
"Kedua aspek tersebut sebetulnya juga sudah menjadi bagian dari Renstra Kemenkeu dan Ditjen Pajak 2020-2024. Jika hal-hal tersebut secara konsisten diimplementasikan, target penerimaan pajak tahun ini bukanlah hal yang mustahil," katanya.
Selain itu, peningkatan basis pajak yang didorong melalui klaster kemudahan berusaha bidang perpajakan dalam Undang-undang Cipta Kerja diharapkan mampu mengerek penerimaan pajak dalam beberapa tahun ke depan. Sehingga dampak pukulan pajak akibat pandemi Covid-19 dapat diminimalisasi.
Meski banyak yang memperkirakan penerimaan pajak akan kembali sulit mencapai target pada tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan berupaya maksimal untuk memastikan defisit anggaran terjaga sesuai dengan target yang telah ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dalam UU tersebut, pemerintah akan mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap PDB pada 2023.
"Kami upayakan secara maksimal menjalankan UU. Kami berharap dinamikan pemulihan ekonomi meningkat dan penggunaan APBN dilakukan secara teliti dan hati-hati," katanya dalam Konferensi Pers Pelaksanaan APBN TA 2020, pekan lalu.
Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi tidak akan hanya berasal dari APBN. Belanja negara tidak dapat mengkompensasi konsumsi rumah tangga, ekspor impor, dan investasi yang selama ini menopang perekonomian Indonesia.
"Jadi akan dilakukan berbagai langkah reform. Kami akan berupaya keras agar invetasi masuk kembali dan momentum ada meligat aliran dana asing yang mulai masuk. Kalau ini terjadi, ekonomi akan sehat dan penerimaan pajak serta bea cukai akan meningkat," katanya.
Adapun meski terkontraksi mencapai 19,7% pada tahun lalu, menurut dia, penerimaan pajak tersebut masih lebih baik dari prediksi awal pemerintah yakni minus hingga 21%. Menurut dia, penurunan penerimaan pajak terjadi karena dua hal yakni penurunan aktivitas ekonomi dan insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha. Insentif pajak diberikan dalam bentuk PPh 21 ditanggung pemerintah, PPh pasal 25, percepatan restitusi PPN, hingga PPh final UMKM yang ditanggung pemerintah dengan total mencapai Rp 56 triliun.
Berdasarkan komposisinya, PPh migas mengalami pukulan paling dalam dengan penurunan mencapai 43,9% dibandingkan 2019 menjadi Rp 33,2 triliun. Namun, realisasi tersebut melampaui target dalam Perpres 72 sebesar Rp 31,9 triliun. "Ini karena harga minyak yang turun dan lifting kita yang berada di bawah asumsi," katanya.
Sementara itu, pajak nonmigas turun 18,6% dibanding 2019 menjadi Rp 1.036,8 triliun. Realisasinya hanya mencapai 88,8% dari target dalam Perpres. Penurunan pajak nonmigas terutama terjadi pada PPh nonmigas yang mencapai 21,4% menjadi Rp 560,7 triliun. Realisasinya mencapai 87,8% dibandingkan target Perpres.
Lalu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai yang turun 15,6% dibandingkan 2019 menjadi Rp 448,4 triliun. Realisasi ini hanya mencapai 88,4% dari target Perpres. Kemudian, pajak bumi dan bangunan turun 0,9% menjadi Rp 21 triliun. Realisasinya mencapaii 155,9% dari target. Sedangkan penerimaan pajak lainnya turun 11,7% menjadi Rp 6,8% atau 90,6% target Pepres.
Berdasarkan jenis pajaknya, menurut Sri Mulyani, PPh 21 terkontraksi 5,2% secara tahunan, berbanding terbalik dibandingkan tahun lalu yang mampu tumbuh 10,07%. PPh impor mengalami kontraksi yang sangat dalam mencapai 49,5%. Tahun lalu juga terkontraksi tetapi hanya 1,86%.
"PPh orang pribadi menjadi satu-satunya yang masih positif mencapai 3,22% meskipun pertumbuhannya turun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 19,06%," katanya.
PPh badan atau pasal 25 mengalami penurunan mencapai 37,8%, antara lain karena tarif yang turun dan pemerintah memberikan berbagai insentif. pajak ini pada tahun lalu tumbuh 0,15%. PPh pasal 26 juga mengalami kontraksi 2,87%, tetapi justru lebih baik dibandingkan 2019 yang minus 6,47%. "PPh final mengalami kontraksi 10,8%. Untuk PPN dalam negeri kontraksinya 13,24%, sedangkan PPN impor terkontraksi 18,13%," katanya.
Meski hampir seluruhnya terkontraksi pada tahun lalu, Sri Mulyani menyebut beberapa jenis penerimaan pajak mengalami perbaikan pada kuartal keempat seiring mulai pulihnya aktivitas ekonomi. PPh 26 misalnya, sudah menunjukkan pembalikkan ke arah positif pada kuartal keempat. Demikian pula dengan PPh orang pribadi yang tumbuh 9,57%.
Namun untuk PPh impor, menurut dia, kontraksinya justru lebih dalam pada kuartal IV. Demikian pula dengan PPh badan yang masih terkontraksi sangat dalam pada kuartal terakhir dan belum menunjukkan perbaikan. "PPN dalam negeri pada kuartal IV juga terkontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya. Ini perlu diwaspadai dari sisi dinamika ekonominya," katanya.
Berdasarkan sektor utamanya, seluruh penerimaan pajak juga mengalami kontraksi. Penurunan paling dalam terjadi pada setor pertambangan mencapai 43%. Disusul konstruksi dan real estate yang turun 22,56%, industri pengolahan 20,21%, perdagangan 18,94%, transportasi dan pergudangan 15,41%, serta jasa keuangan dan asuransi 14,31%.
Ditjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan, penerimaan pajak yang turun juga disebabkan oleh keterbatasan pihaknya untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak akibat pembatasan sosial.
Hingga awal pekan lalu, terdapat 1.171 kasus Covid-19 yang ada di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagian besar berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 35 orang meninggal dunia. Sebanyak 22 orang berasal dari Ditjen Pajak.