Belanja Pemerintah Awal Tahun Melonjak, Defisit APBN Tembus Rp 45,7 T

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, realisasi defisit bulan pertama tahun ini setara dengan 0,26% terhadap produk domestik bruto atau PDB.
23/2/2021, 15.21 WIB

Kementerian Keuangan mencatat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara mencapai Rp 45,7 triliun pada Januari 2021, melonjak 31,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 34,8 triliun. Kekurangan anggaran terjadi akibat belanja pemerintah pusat yang melonjak cukup tajam, sedangkan penerimaan negara kembali terkontraksi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, realisasi defisit bulan pertama tahun ini setara dengan 0,26% terhadap produk domestik bruto atau PDB."Tidak terlalu banyak berbeda dibanding Januari tahun lalu yang belum mengalami pandemi Covid-19," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa secara virtual, Selasa (23/2).

Belanja negara tumbuh 4,2% dari Rp 139,9 triliun menjadi Rp 145,8 triliun, terutama didorong peningkatan belanja modal dan bantuan sosial untuk mendukung perlindungan masyarakat dan percepatan penyelesaian proyek infrastruktur. Pengeluaran negara terdiri dari belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp 94,7 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 51,1 triliun.

Belanja pemerintah pusat melonjak tinggi yakni 32,4% dibandingkan periode yag sama tahun lalu, terdiri atas belanja kementerian/lembaga Rp 48 triliun naik 55,6% dan belanja non k/l Rp 46,6 triliun, meningkat 14,8%. Sementara itu, TKDD tercatat menurun 25,3% yang meliputi transfer ke daerah Rp 50,3 triliun atau terkontraksi 26% serta dana desa Rp 800 miliar, naik 126,4%.

Di sisi lain, Bendahara Negara menyebutkan bahwa pendapatan negara hanya mencapai Rp 100,1 triliun atau terkontraksi 4,8% dari Januari 2020 yang sebesar Rp 105,1 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari penerimaan pajak Rp 68,5 triliun, kepabeanan dan cukai Rp 12,5 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 19,1 triliun.

Penerimaan pajak dan PNBP tercatat masing-masing minus 15,3% dan 2,9%. "Kontraksi terjadi karena aktivitas ekonomi dan harga minyak yang belum sepenuhnya pulih," kata dia.

Sementara itu, pemasukan dari kepabeanan dan cukai tumbuh 175,3% dibanding tahun lalu didorong oleh kebijakan tarif cukai dan peningkatan ekspor seiring kenaikan harga komoditas.

Dengan defisit Rp 45,7 triliun, keseimbangan primer tercatat minus Rp 21 triliun. Pembiayaan anggaran mencapai Rp 165,9 triliun, naik 140,7% dari Rp 68,9 triliun pada Januari 2020 didukung tren positif pasar keuangan serta aliran modal dan investasi asing. Dengan demikian, sisa lebih pembiayaan anggaran tercatat Rp 120,2 triliun. "Ini juga merupakan sisa dari tahun lalu," ujar Sri Mulyani.

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai, belanja pemerintah pusat belum bisa membantu pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021. Pengeluaran pemerintah selama periode ini lebih banyak ditujukan untuk menanggulangi pandemi seperti pengadaan vaksin, pelaksanaan vaksinasi,  serta membantu masyarakat dan dunia usaha terdampak pandemi.

Selama pandemi masih berlangsung dan kasus masih tinggi, perekonomian belum bisa berjalan normal. "Belum lagi pemerintah masih menerapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyrakat," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Senin (23/2).

Dengan kebijkaan tersbeut, pertumbuhan ekonomi terutama pada triwulan pertama tahun ini masih akan terbatasibahkan negatif. Maka dari itu pemulihan ekonomi dinilai ia baru bisa berjalan ketika pandemi sudah mereda.

Kementerian Kesehatan mencatat kasus baru Covid-19 pada Senin (22/2) sebanyak 10.180. Sehingga total orang yang terinfeksi virus corona mencapai 1.288.833. Dari tambahan kasus Covid-19, sebanyak 37,44% atau 3.812 berasal dari Jawa Barat. Angka tersebut naik tiga kali lipat dari hari sebelumnya yang mencapai 1.021 orang.

Reporter: Agatha Olivia Victoria