Pukulan Stimulus AS ke Pasar Keuangan Indonesia

123RF.com/Daniil Peshkov
Ilustrasi. Nilai tukar rupiah kemarin melemah ke Rp 14.405 per dolar AS tertekan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Penulis: Agustiyanti
10/3/2021, 08.11 WIB

Selain itu, tingkat pengangguran AS turun dari 6,3% menjadi 6,2%. Non-Farm Payroll merupakan perubahan jumlah tenaga kerja AS di semua sektor, kecuali pegawai pemerintah, ibu rumah tangga, yang bekerja pada organisasi non-profit (LSM) dan pertanian. Data ini mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di sektor komersil dan industri di Negeri Paman Sam.

Faktor tersebut menyuntikkan optimisme pemulihan ekonomi yang tercermin dari survei bulanan Bloomberg terbaru yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama 2021 secara tahunan akan mencapai 4,8%. Proyeksi ini dua kali lebih tinggi dari jajak pendapat ekonom pada dua bulan lalu.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan perkembangan vaksinasi yang masih di AS memberikan ekspektasi pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang lebih baik. Inflasi meningkat sehingga ikut mendorong yield obligas AS.

Kondisi ini turut berdampak pada aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah. "Memang aliran modal asing ke luar tidak dapat dihindari. Namun kondisi ini masih wajar, investor mencari keseimbangan baru," ujar David kepada Katadata.co.id, Selasa (10/3).

David memperkirakan pemulihan ekonomi global tak berlangsung cepat. Bank Sentral AS pun kemungkinan belum mengetatkan kembali kebijakannya sehingga menimbulkan gejolak pasar seperti yang pernah terjadi pada 2013. "Apa yang dikhawatirkan pasar yakni taper tantrum, belum akan terjadi. Ini kemungkinan masih akan lama," kata David.

Selain itu, David menilai, nilai tukar rupiah saat ini yang bertengger di posisi Rp 14.400 per dolar AS sebenarnya justru sesuai dengan nilai fundamentalnya. Kurs rupiah yang sempat berada di bawah Rp 14 ribu per dolar AS, menurut dia, terlalu kuat dan tak bagus untuk eksportir. "Tepat untuk eksportir dan importir," ujarnya.

David juga memperkirakan aliran modal asing masih berpotensi masuk ke Indonesia seiring banjir likuiditas global yang masih akan terjadi.

Ekonom Chatib Basri pernah mengingatkan, Indonesia harus pulih lebih cepat dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat untuk menghindari arus modal keluar.

Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, seluruh bank sentral dunia terutama AS, Tiongkok, dan Eropa sedang giat melakukan injeksi likuiditas di tengah krisis pandemi. Kucuran dana tersebut menyebabkan likuiditas global sangat longgar yang kemudian membuat aliran modal asing deras masuk ke aset berisiko, terutama Indonesia.

Jika ketiga negara tersebut sudah pulih, kebijakan moneter akan dinormalisasi. "Kalau saat itu Indonesia belum pulih, ini berisiko. Negara seperti AS akan melakukan pengetatan kembali kebijakan moneternya," ujar Chatib dalam Webinar Meet The Expert, Jumat (29/1).

Dengan demikian, arus modal yang tadinya masuk ke Indonesia akan berbalik ke AS. Kaburnya dana asing tersebut akan membuat pasar obligasi dan pasar saham RI anjlok. Implikasinya, nilai tukar rupiah berpotensi kembali melemah terhadap dolar AS.

Namun, Ekonom Eric Sugandi mengatakan tekanan terhadap rupiah dan mata uang negara-negara emerging market lainnya akibat kenaikan imbali hasil surat berharga AS hanya bersifat sementara.

"Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat masih rapuh karena wabahnya belum sepenuhnya terkendali. Namun dibandingkan tahun lalu, tahun ini akan lebih baik," ujar Eric.

Potensi aliran modal asing keluar dari emerging markets, menurut dia, tetap ada. Namun hal tersebut kemungkinan hanya berlangsung sementara karena likuiditas global melimpah akibat kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara tersebut belum akan mengetatkan kebijakan fiskal dan moneter tahun ini.

"Jadi kalaupun ada outflows dari Indonesia, dana asing ini akan masuk lagi ketika koreksinya dianggap sudah cukup besar," katanya.

Halaman: