Kementerian Keuangan rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sedang mengkaji dua skema yang akan dipakai dalam menentukan kenaikan tarif tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor menyampaikan dua skema kenaikan tarif PPN yang kemungkinan diadopsi yakni single atau multi tarif. "Secara teoritis begitu, semua masih dalam kajian," kata Neilmaldrin kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).
Tarif tunggal ini merupakan penerapan satu tarif PPN yang berlaku untuk semua objek PPN. Bila menggunakan skema ini, ketentuan tarif PPN berada di rentang 5%-15%, sesuai Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). "Tetapi masih dalam pembahasan terkait itu," ujar dia.
Adapun skema multi tarif merupakan pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan bahan paparan Ditjen Pajak, multi tarif PPN telah dianut oleh banyak negara. Kebijakan ini dianggap memperhatikan rasa keadilan karena pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.
Negara-negara yang telah menganut multi tarif kebanyakan berada di Eropa. Misalnya, Austria, Kolombia, Republik Ceko, Prancis, Yunani, hingga Turki.
Ditjen Pajak mencatat tarif PPN di Indonesia yang saat ini 10% relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Brazil contohnya, menerapkan tarif PPN 17%-19%, Argentina 21%, Finlandia 24%, Swedia 25%, dan Hungaria 27%. Namun, tarif PPN Indonesia cenderung setara dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Mesir, dan Kamboja yakni 10%.
Sedangkan beberapa negara tetangga Indonesia justru menerapkan tarif PPN yang lebih rendah yakni Thailand dan Singapura 7% serta Myanmar 5%. Sedangkan Hong Kong, Irak, hingga Kuwait menerapkan tarif 0%.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan munculnya rencana kenaikan PPN karena saat ini pemerintah membutuhkan pendanaan yang besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Belanja negara mengalami peningkatan karena kita memerlukan pengeluaran yang ditujukan untuk penyehatan masyarakat, menjaga masyarakat khususnya di sisi kesehatan. Kemudian yang kedua menjaga supaya ekonominya paling tidak bertahan," kata Suryo kepada wartawan, Senin (10/5).
Pandemi membuat penerimaan negara tergerus. Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak 2020 mencapai Rp 1.069,98 triliun, turun 19,71% dibandingkan 2019 yang mencapai Rp 1.332,1 triliun.
Penerimaan dari kepabeanan dan cukai juga turun tipis 0,33% menjadi Rp 212,8 triliun. Kemudian, penerimaan negara bukan pajak anjlok 17,24% menjadi Rp 338,5 triliun. Secara keseluruhan, realisasi pendapatan negara pada tahun lalu sebesar Rp 1.633,6 triliun, menyusut 16,7% dibanding 2019 yang mencapai Rp 1.960,6 triliun.
Wacana kenaikan PPN ini menuai kritik, salah satunya dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani menilai rencana kenaikan tarif PPN bakal mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal di masa pandemi. "Indikator yang cukup jelas, pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2021 masih terkonstraksi di kisaran 0,74%," kata Ajib, Jumat (7/5).
Ajib menilai tindakan tersebut tidak pro dengan masyarakat luas yang sedang terdampak Covid-19. Padahal, pemerintah sudah memprediksi bahwa ekonomi masih membutuhkan waktu untuk pemulihan secara normal setelah 2022 nanti.
Ajib menyarankan agar pemerintah bisa lebih fokus dalam pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy. Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga kestabilan penerimaan, dan memberikan keadilan buat masyarakat yang berdampak untuk jangka panjang.