Pemerintah Akan Cabut Insentif Pajak UMKM Lewat RUU KUP, Ada 3 Alasan

Ilustrasi. Pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan PPh badan dan korporasi dari 25% menjadi 20% secara bertahap melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/2020.
5/7/2021, 15.50 WIB

Pemerintah berencana mencabut insentif pajak UMKM beromzet di bawah Rp 50 miliar. Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo menjelaskan beberapa alasan yang mendasari usulan pencabutan insentif tersebut. Pertama, insentif diberikan saat penerapan tarif tunggal Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 28%. Sedangkan pada tahun 2022, tarif PPh badan akan turun menjadi 20%. "Sehingga pengaturan tersebut tidak relevan lagi," ujar Suryo dalam Rapat Panitia Kerja KUP bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (5/7).

Kedua, sudah ada implementasi tarif PPh final UMKM dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar yakni 0,5%. Ketiga, perlu penyederhanaan struktur tarif PPh badan dan untuk mewujudkan keadilan.

Suryo menjelaskan bahwa ketentuan insentif UMKM yang berlaku saat ini yaitu pasal 31E Undang-Undang PPh yang menjelaskan bahwa WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto hingga Rp 50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif 50%. Fasilitas tersebut dikurangi dari tarif pasal 17 atas bagian penghasilan kena pajak (PKP) dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. "Oleh karena itu kami usulkan ketentuan pasal itu agar bisa dihapuskan," katanya.

Pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan PPh badan dan korporasi dari 25% menjadi 20% secara bertahap melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/2020. Kebijakan ini bertujuan agar pengusaha mampu bertahan selama pandemi berlangsung. 

Penurunan PPh Badan sudah dirasakan, menjadi 22% sejak tahun lalu. Pajak akan kembali turun pada 2022 menjadi 20%. Akibat dari penurunan PPh Badan ini, penerimaan negara dari sektor PPh turun cukup dalam sepanjang 2020.

Laporan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) menyatakan bahwa sepanjang Januari hingga Desember 2020, penerimaan pajak korporasi minus 37,8% secara tahunan. Merosot tajam dari penerimaan pada 2019 lalu yang mampu tumbuh positif, meskipun hanya 0,15%.

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan PPh Badan pada 2019 sebesar Rp 256,74 triliun. Pada 2020, jika dihitung dengan jumlah defisit yang minus 37,8 persen, maka Kemenkeu mencatat penerimaan sebesar Rp 159,7 triliun. “Kami telah memberi insentif cukup besar, dengan harapan korporasi bisa bertahan dan bahkan mampu pulih kembali nantinya,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers awal tahun.

Pemerintah juga menggelontorkan berbagai insentif perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hingga 31 Desember 2020, realisasi insentif perpajakan sebesar Rp 56 triliun dari total pagu Rp 120,6 triliun.

Sri Mulyani mengakui bahwa kinerja PPh Badan ke depan juga akan tergantung dari situasi kesehatan, sosial, dan ekonomi. Ke depannya, pemerintah meyakini bahwa ekonomi akan beranjak pulih, setelah melewati kontraksi dan pandemi. Proyeksi pembalikan kondisi ekonomi itu menjadi penentu penerimaan pajak 2021, seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai penerimaan pajak tahun depan akan bergantung dari pengendalian pandemi. Realisasi program vaksinasi yang berjalan efektif diharapkan semakin mendukung pemulihan ekonomi.

Meski demikian, menurut dia, penerimaan PPh Badan masih akan sulit tumbuh seperti periode sebelum pandemi. Peningkatan keuntungan dunia usaha yang masih jauh dari maksimal menjadi alasan utama. 

Prianto berharap tahun depan otoritas pajak tetap menjalankan reformasi perpajakan dengan perluasan basis data dan sistem IT yang memadai. Ini agar data basis pajak yang diolah Ditjen Pajak mempunyai kualitas baik dalam menetapkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan di masa mendatang.

Reporter: Agatha Olivia Victoria