Kemenkeu Waspadai Efek Negatif Pemulihan Ekonomi Amerika ke RI

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Outlook pertumbuhan ekonomi AS tahun ini sebesar 7%, lebih tinggi dari perkiraan negara-negara berkembang seperti 5 negara ASEAN sebesar 4,3% dan Amerika Latin sebesar 5,8%.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
18/8/2021, 10.58 WIB

Kementerian Keuangan memperingatkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dapat memberikan efek negatif bagi perekonomian Indonesia. Pemulihan ekonomi AS akan mendorong The Federal Reserve melakukan pengetatan kebijakan moneter yang berdampak pada aliran modal asing keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Apa yang terjadi pada kebijkan fiskal dan moneter Amerika Serikat akan menghasilkan efek rambatan kepada banyak negara terutama negara berkembang dalam konteks ini juga Indonesia," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam diskusi virtual, Rabu (18/8).

Febrio menjelaskan, pemulihan ekonomi AS akan mendorong The Fed memperketat kebijakannya dan menaikkan suku bunga. Hal ini akan berdampak pada aliran modal asing di negara-negara berkembang. Saat ekonomi Amerika pulih dan suku bunga di negara tersebut naik, investor akan berbondong-bondong menempatkan dana di negara tersebut. Apalagi, jika ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum sepenuhnya pulih. 

"Bagaimana perubahan tingkat suku bunga negara maju terutama AS pada perekonomian negara berkembang terutama capital outflow sudah terlihat dari beberapa tahun terakhir sehingga kami akan memitigasi," kata Febrio. 

Mengutip data IMF, outlook pertumbuhan ekonomi AS tahun ini sebesar 7%, lebih tinggi dari perkiraan negara-negara berkembang seperti 5 negara ASEAN sebesar 4,3% dan Amerika Latin sebesar 5,8%. Kendati demikian, Febrio juga mengatakan, ancaman lonjakan varian Delta di AS sejak pertengahan Juli memberi peluang pertumbuhan ekonominya akan terkoreksi di bawah proyeksi sebelumnya.

Pada kuartal kedua tahun ini, ekonomi AS tumbuh 6% yoy seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh di kisaran 3,7% hingga 4,5%.  Dua lembaga internasional yakni IMF dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi, masing-masing menjadi 3,9% dan 4,1%. 

Wacana tapering off Fed kembali bergulir sejak awal bulan ini. Sejumlah pejabat bank sentral memberi sinyal otiritas akan mengakhiri periode suku bunga rendah hanya sampai akhir tahun depan. Namun langkah tapering off juga berpeluang dilakukan lebih cepat dengan mengurangi pembelian obligasi pemerintah yang kabarnya akan dilakukan Oktober mendatang.

Bank sentral terus melakukan pembelian obligasi pemerintah sebesar US$ 120 miliar setiap bulannya. Dewan Gubernur Fed Christopher Waller mengatakan, langkah tersebut mungkin akan dikurangi mulai Oktober mendatang apabila laporan ketenagakerjaan periode Agustus dan September menunjukkan pertumbuhan dalam kisaran 800 ribu. Capaian itu mendekati level saat pra-pandemi dan memenuhi tolok ukur Fed untuk mulai mengetatkan kebijakan.

"Menurut pendapat saya, itu kemajuan yang substansial dan saya pikir Anda bisa siap untuk melakukan pengumuman pada bulan September,” kata Waller seperti dikutip dari CNBC, Senin (2/8).

Departemen Ketenagakerjaan AS dua pekan lalu melaporkan, penambahan tenaga kerja baru sepanjang bulan Juli tercatat mengalami perbaikan. Terdapat penambahan 943 ribu pekerja baru di sektor non-pertanian bulan lalu, tertinggi sejak Agustus 2020.

Data itu kemudian didukung oleh rilis terbaru jumlah klaim pengangguran hingga awal bulan ini yang terpantau menurun. Klaim pengangguran pekan kedua Agustus 2021 tercatat 375 ribu klaim. Angka tersebut menjadi yang terendah ketiga sejak akhir Maret 2020.

Di sisi lain, wacana tapering off tampaknya timbul tenggelam seiring data ekonomi lainnya yang menunjukkan Covid-19 varian delta mulai mempengaruhi berbagai komponen ekonomi. Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Juli tercatat tumbuh melambat 0,5% secara bulanan, lebih rendah dari inflasi Juni 0,9%.

Hal ini juga didukung data penjulan ritel yang dirilis Selasa kemarin (17/8) menunjukkan, penjualan ritel bulan Juli tercatat anjlok 1,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Data ini mengindikasikan konsumen mulai mengurangi pembelian mereka, alasannya selain karena kekhawatiran lonjakan kasus Covid-19 varian Delta namun juga dipengaruhi mulai berkurangnya stimulus pemerintah.

Sementara, Gubernur Fed Jerome Powell dalam konferensi pers pertengahan Juli lalu masih menahan suku bunga di kisara 0% hingga 0,25%, dengan mempertimbangkan inflasi yang melonjak tajam beberap bulan terakhir hanya akan berlangsung sementara. Selain itu, bank sentral juga akan melihat data ketenagakerjaan beberpa bulan ke depan sebelum mengambil langkah pengurangan stimulus moneter.

Reporter: Abdul Azis Said