BI Tahan Suku Bunga 3,5% di Tengah Sinyal Percepatan Tapering Off Fed

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan ekonomi domestik pada tahun ini tumbuh antara 3,5% hingga 4,3%.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
19/8/2021, 14.35 WIB

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7days reverse repo rate sebesar 3,5%. Keputusan ini ditempuh BI untuk menjaga stabilitas pasar keuangan meski ekonomi membutuhkan dukungan di tengah ancaman perlambatan akibat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM level 4.

"Rapat Dewan Gubernur pada 18-19 Agustus 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 days reverse repo rate sebesar 3,5%. Suku bunga deposit facility tetap 2,75% dan suku bunga lending facility tetap 4,25%," ujar Gubernur BI dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (22/7).

BI telah mempertahankan suku bunga acuannya sejak Februari 2021, setelah memangkas 1,5% sepanjang tahun lalu seperti terlihat dalam databoks di bawah ini. 

Perry mengatakan, keputusan ini sejalan dengan perlunya BI menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global, inflasi yang rendah, dan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Nilai tukar rupiah hingga 18 Agustus 2021 melemah 2,24% dibandingkan posisi akhir tahun lalu atau year to date. Meski demikian, Perry menekankan, depresiasi rupiah masih relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand. 

"BI akan terus berkomitmen menaga stabilitas rupiah sesuai fundamental dan mekanisme pasar," ujarnya. 

Inflasi juga tetap rendah pada akhir Juli sebesar 0,08% secara bulanan atau 1,52% secara tahunan. Berbagai komponen inflasi yang terjaga, menurut dia, menunjukkan terkendalinya inflasi antara lain karena terbatasnya prmintaan domestik. 

Sementara itu, perekonomian domestik diperkirakan masih akan melanjutkan momentum perbaikan. Ekonomi pada kuartal kedua tumbuh 7,07% secara tahunan dipengaruhi oleh ekspor yang kuat ditengah perbaikan konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi pemerintah.

Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi masih akan berlangsung meski tertahan penyebaran kasus Covid-19 akibat penyebaran varian Delta. Perkembangan sejumlah indikator hingga awal Agustus, menurut dia, mengindikasikan aktvitas sekonomi mulai membaik, terlihat dari indikasi aktivitas masyarakat, ritel, akomodasi dan makanan minuman yang semakin meningkat. 

"Sehingga pertumbuhan ekonomi ke depan masih akan berlanjut seiring relaksasi dan akselerasi vaksinasi," kata Perry. 

Perbaikan ekonomi domestik juga akan didukung oleh perbaikan ekonomi global mesti masih ada bayang-bayang penyebaran varian Delta. Ekonomi Amerika, Eropa, dan Tiongkok diperkirakan akan menopang perekonomian global yang diperkirakan tumbuh 5,8% pada tahun ini. 

"Dengan perkembang tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 tetap berada di kisaran 3,5% sampai 4,3%," kata dia. 

BI juga akan terus mengoptimalkan seluruh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan. Beberapa kebijakan yang akan ditempuh BI, yakni :

  1. Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar.
  2. Melanjutkan strategi operasi moneter.
  3. Mendorong intermediasi melalui kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit, terutama untuk segmen kredit pemilikan rumah. 
  4. Mengakselerasi penggunaaan QRIS, termasuk QRIS antara negara dan mendorong implementasi transkasi nasional open IP.
  5. Menjaga kelancaran dan keandalan sistem pembayaran serta mendukung program Pemerintah melalui kerjasama pelaksanaan uji coba digitalisasi bantuan sosial (bansos) dan program Elektronifikasi Transaksi Pemerintah;
  6. Memfasilitasi penyelenggaraan promosi perdagangan dan investasi serta melanjutkan sosialisasi penggunaan Local Currency Settlement (LCS) bekerja sama dengan instansi terkait. 

Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di tempuh di tengah sinyal percepatan penarikan stimulus atau tapering off Bank Sentral AS. The Federal Reserve. The Fed memberikan sinyal tapering off akan dimulai pada tahun ini. Hal ini terungkap dalam risalah rapat The Fed yang dirilis Rabu (18/8). 

Namun, ringkasan pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal 27-28 Juli ini menunjukkan, para pejabat bank sentral ingin memperjelas bahwa pengurangan aset bukanlah pendahulu dari kenaikan suku bunga dalam waktu dekat. Risalah tersebut mencatat bahwa “beberapa” anggota lebih suka menunggu hingga awal 2022 untuk mempejelas kebijakannya. 

“Ke depan, sebagian besar peserta mencatat bahwa, asalkan ekonomi berkembang secara luas seperti yang mereka antisipasi, mereka menilai bahwa mungkin tepat untuk mulai mengurangi laju pembelian aset tahun ini,” demikian tertulis dalam risalah tersebut, seperti dikutip dari CNBC.  Ekonomi dianggap telah mencapai tujuannya jika melihat data inflasi dan menunjukkan kemajuan pertumbuhan pekerjaan yang hampir memuaskan.  Namun, anggota komite secara luas sepakat bahwa data tenaga kerja belum menunjukkan kemajuan substansial yang telah ditetapkan The Fed sebelum mempertimbangkan menaikkan suku bunga.