Modal Asing Masuk Rp 3,5 T Sepekan Meski Diterpa Isu Tapering Off AS

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Ilustrasi. Nilai tukar rupiah pekan ini ditutup di melemah 0,45% dari posisi akhir pekan lalu ke level Rp 14.453 per dolar AS.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
20/8/2021, 18.21 WIB

Bank Indonesia mencatat terdapat aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik sebesar Rp 3,49 triliun dalam sepekan terakhir. Modal asing tetap masuk di tengah pelemahan nilai tukar rupiah akibat menguatnya sentimen tapering off bank sentral AS.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono menjelaskan, investor asing melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 1,75 triliun dan pembelian di pasar saham Rp 1,74 triliun sepanjang 16 hingga 19 Agustus 2021.  "Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun, terdapat nonresiden beli neto sebesar Rp14,56 triliun," tulis Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (20/8).

Erwin menjelaskan, tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia lima turun ke level 72,64 basis poin (bps) pada Kamis (19/8), dari posisi minggu lalu di 73,40 bps. Namun, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik ke level 6,32% saat imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) 10 tahun turun ke level Rp 1,243%.

Meski modal asing masuk, nilai tukar rupiah pekan ini ditutup di melemah 0,45% dari posisi akhir pekan lalu ke level Rp 14.453 per dolar AS. Laporan neraca dagang bulan Juli yang kembali berhasil mencetak surplus tampaknya tidak mampu menahan pelemahan rupian yang tertekan oleh  sentimen sinyal percepatan tapering off oleh The Federal Reserve (Fed).

Wacana tapering off alias pengetatan stimulus semakin kencang setelah risalah rapat komite pasar terbuka (FOMC) dirilis rabu dini hari. Notulen rapat tersebut menunjukkan, pejabat bank sentral semakin dekat dengan kesepakatan untuk mengaurangi pembelian obligasi pemerintah sebelum akhir tahun ini. Seperti yang diketahui, The Fed memborong obligasi sebesar US$ 120 triliun per bulan untuk membantu membiayai stimulus jumbo pemerintahan Presiden Biden.

"Sebagian besar peserta mengatakan bahwa asalkan ekonomi berkembang secara luas seperti yang mereka antisipasi, mereka menilai, mungkin tepat untuk mulai mengurangi laju pembelian aset tahun ini,” demikian tertulis dalam risalah rapat yang dikutip dari CNBC, Kamis (19/8).

Kendati demikian, The Fed juga memberi kejelasan bahwa langkah pengurangan pembelian obligasi tidak ada hubungannya dengan rencana kenaikan suku bunga. Hal ini seperti isu yang berkembang sebelumnya, yakni The Fed diperkirakan akan mengakhiri periode suku bunga rendah hanya sampai akhir 2022 dan mulai menaikkannya pada 2023.

Dalam notulen rapat tersebut, terlihat bahwa pejabat The Fed terpecah ke dalam dua kubu terkait keputusan kenaikan suku bunga. Beberapa pejabat mengkhawatirkan inflasi yang tinggi akan bertahan lebih lama sehingga perlu dilakukan kenaikan suku bunga secepatnya. Di sisi lain, beberapa menilai inflasi justru berpotnesi turun yang mengindikasikan daya beli kembali turun dan pemulihan melambat.

Indeks harga konsumen (IHK) AS bulan Juli tercatat masih tinggi yakni 5,4% secara tahunan, tertinggi sejak Agustus 2008. Kendati demikian, secara bulanan kenaikannya hanya 0,5%, lebih lambat dari kenaikan IHK bulan Juni 0,9% secara month-to-month (mtm).

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan bulan Juli kembali mencetak surplus bahkan lebih besar dari sebelumnya. Surplus bulan Juli sebesar US$ 2,56 miliar, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya US$ 1,32 miliar. Kendati demikian masih lebih rendah dibandingkan Juli 2020 yang mencapai US$ 3,26 miliar.

Neraca perdagangan mengalami kenaikan surplus didorong penurunan nilai impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor. Ekspor bulan Juli tercatat sebesar US$ 17,7 miliar, turun 4,53% dibandingkan bulan sebelumnya, sementara nilai impor tercatat US$ 15,11 miliar, turun 12,22% dibandingkan bulan sebelumnya.

Reporter: Abdul Azis Said