BPS Batalkan Sensus Penduduk Long Form 2020 karena Anggaran Dipangkas

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/wsj.
BPS batal menggelar sensus penduduk long form (SPLF) 2020 yang merupakan lanjutan dari sensus penduduk yang telah digelar tahun lalu.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
1/9/2021, 18.50 WIB

Badan Pusat Statistik membatalkan rencana sensus penduduk long form (SPLF) 2020 yang semula akan digelar tahun ini akibat keterbatasan dana. Anggaran BPS telah dipangkas sebanyak empat kali pada tahun ini dengan nilai mencapai Rp 1,4 triliun. 

"Kami berkomitmen pada tujuan pemerintah yang lebih besar. Megiatan pendataan long form ini ditiadiakan untuk 2021 meskipun ini sebenarnya adalah program prioritas nasional," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam Rapat Kerja Komisi XI bersama BPS, Rabu (1/9).

Margo mengatakan, jumlah rumah tangga yang semula akan disurvei mencapai tiga juta rumah tangga. Untuk itu, dibutuhkan sumber daya manusia dan pembiayaan yang cukup besar untuk melaksanakan survei ini, 

"Petugas itu harus dibayar. Tidak bisa tak dibayar karena tugasnya sangat banyak," katanya.

Margo mengatakan banyak pihak yang menyayangkan batalnya program ini. Sensus long form diharapkan mampu menggambarkan proyeksi bonus demografi dan kondisi penduduk pada tahun 2045 mendatang. Hasil survei SPLF ini juga seharusnya dapat menyediakan indikator penting menyangkut target pembangunan berkelanjutan (SdG's) dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) di bidang kependudukan.

SPLF 2020 merupakan lanjutan dari sensus penduduk 2020 yang sudah digelar pemerintah tahun lalu. Namun, data-data yang dihasilkan pada SPLF ini akan lebih komprehensif, menyangkut karakteristik penduduk, migrasi, pendidikan dan komunikasi, disabilitas, ketenagakerjaan, fertilitas serta mortalitas.

Margo menjelaskan, SPLF tak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Ia menjelaskan, anggaran BPS tahun ini telah dipangkas hingga empat kali dengan total Rp 1,4 triliun sebagai bagian dari refocusing anggaran. Pemangkasan atau refocusing anggaran tahap pertama dilakukan pada Januari sebesar  Rp 386 miliar. Lalu Rp 152 miliar pada tahap kedua, dan Rp 488 miliar pada tahap ketiga, dan Rp 429 miliar pada tahap keempat. 

Namun, BPS juga melaporkan terdapat pemasukan senilai Rp 12,2 miliar dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ini diperoleh dari iuran seleksi masuk sekolah statistik BPS senilai Rp 2,5 miliar serta kerjasama dengan kementerian dan lembaga (K/L) lain sebesar Rp 9,7 miliar. Karena itu, dari pagu awal BPS sebesar Rp 5,23 triliun kini susut menjadi Rp 3,83 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pemerintah telah melakukan refocusing anggaran hingga empat kali sepanjang tahun ini. Sebagian besar anggaran tersebut dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang melonjak sejak bulan lalu.

Refocusing pertama dilakukan pada awal tahun ini, dengan nominal yang diperoleh Rp 74,1 triliun, terdiri atas Rp 59,1 triliun anggaran K/L serta Rp 15 triliun anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). "Ini kami lakukan saat ada kenaikan jumlah kasus yang terjadi pada bulan Februari dan Maret 2021," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (24/8).

Refocusing kedua dilakukan dengan memangkas belanja pegawai dengan tidak membayar tukin THR dan gaji ke-13 bagi ASN. Dari hasil pemangkasan ini pemerintah memperoleh dana Rp 12,3 triliun. Kemudian refocusing ketiga dilakukan pada Juli lalu ketika terjadi lonjakan akibat varian Delta. Jumlah anggaran yang dipangkas Rp 32,2 triliun, terdiri atas Rp 26,2 triliun dari K/L dan Rp 6 triliun dari TKDD. Terbaru, refocusing  keempat dilakukan bulan Agustus dengan kembali memangkas anggaran K/L 26,3 triliun.

Melalui refocusing anggaran, pemerintah menaikkan anggaran PEN hingga dua kali lipat dari Rp 372,3 triliun menjadi Rp 744,77 triliun. Namun, realisasinya per 20 Agustus 2021 baru mencapai Rp 326,74 triliun.

Reporter: Abdul Azis Said