Isu Tapering Off Hingga Evergrande Memicu Modal Asing Kabur Rp 6 T

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Rupiah bergerak melemah 0,25% dalam sepekan dari posisi penutupan pekan lalu Rp 14.223 per dolar AS.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
24/9/2021, 17.17 WIB

Bank Indonesia mencatat, modal asing keluar dari pasar keuangan domestik dalam sepekan ini mencapai Rp 5,92 triliun, melanjutkan aksi jual pekan lalu Rp 3 triliun. Dana asing keluar dari pasar surat berharga negara akibat sejumlah sentimen global, mulai dari rencana tapering off The Federal Reserve hingga krisis utang Evergrande di Cina. 

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, nonresiden mencatatkan jual neto Rp 6,83 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), tetapi beli neto di pasar saham Rp 910 miliar. Asing juga mencatatkan jual neto Rp 4,03 triliun di pasar SBN, tetapi beli neto di pasar saham Rp 1,04 triliun pada pekan lalu. 

"Berdasarkan data setelmen selama 2021, nonresiden beli neto Rp 11,18 triliun," tulis Erwin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/9).

BI mencatat tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia lima tahun naik dari ke 68,85 basis poin (bps) pada 17 September menjadi level 76,18 bps pada 23 September. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik ke level 6,21% pada Jumat (24/9) bersama dengan kenaikan yield obligasi pemerintah AS atau US treasury tenor 10 tahun ke level 1,430%.

Sementara itu, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 14.258 per dolar AS sore ini. Rupiah bergerak melemah 0,25% dalam sepekan dari posisi penutupan pekan lalu Rp 14.223 per dolar AS. Kurs garuda makin loyo digempur sejumlah sentimen negatif, mulai dari kekhawatiran pasar terhadap krisis Evergrande di Tiongkok, utang pemerintah AS yang terancam gagal bayar, hingga rencana tapering off yang kembali menguat.

Kekhawatiran terhadap kehancuran raksasa properti Tiongkok, Evergrande sudah berlangsung sejak pekan lalu namun efeknya masih bertahan hingga perdagangan pekan ini. Pasar mulai khawatir risiko gagal bayar utang Evergrande akan mempengaruhi ekonomi Tiongkok yang kini juga tengah berjuang melawan gelombang baru varian Delta di sejumlah wilayah.

Evergrande memiliki utang mencapai US$ 305 miliar atau setara Rp 4.300 triliun. Namun, ujian pertama untuk Evergrande datang minggu ini. Perusahaan harus membayar kupon senilai US$ 83,5 juta terkait dengan obligasi jatuh tempo Maret 2022 pada hari Kamis. Selain itu, perusahaan juga ditagih pembayaran US$ 47,5 juta lainnya pada 29 September untuk kupon obligasi dengan jatuh tempo Maret 2024.

Kedua, obligasi akan gagal bayar jika Evergrande gagal melunasi bunga dalam waktu 30 hari dari tanggal pembayaran yang dijadwalkan. Hal ini memicu kekhawatiran pasar bahwa krisis akan menjadi 'Momen Lehman' di Tiongkok, yang merujuk pada krisis keuangan 2008 oleh raksasa investasi AS Lehman Brothers yang juga bermula dari krisis di sektor properti.

Bank Sentral Tiongkok (PBOC) pekan ini menyetujui suntikan dana likuiditas ke perbankan senilai US$ 17 miliar atau setara Rp 242 triliun di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar atas efek dari krisis Evergrande. Injeksi tersebut tercatat sebagai yang terbesar sejak awal tahun ini.

Operasi pasar yang dilakukan PBOC ini kemudian mendorong penurunan suku bunga antar bank jangka pendek, suku bunga repo turun 14 basis poin menjadi 2,01%, sedangkan suku bunga tujuh hari melandai untuk hari ketiga berturut-turut. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun juga menurun satu basis poin menjadi 2,85%.

Krisis Evergrande bukan satu-satunya sentimen yang mendorong risk-off di aset berisiko. Pemerintah AS kini tengah menghadapi ancaman risiko gagal bayar utang dan penutupan pemerintah atau government shutdown akibat kekurangan anggaran. Ini lantaran pemerintah AS tak bisa lagi menarik utang hingga dilakukannya penangguhan batas utang. 

Berdasarkan data Statista per Agustus 2021, utang Amerika Serikat mencapai US$ 28,4 triliun atau setara Rp 404 kuadriliun. Utang ini telah mencapai batas maksimumnya sehingga pemerintah AS meminta dilakukan penangguhan batas utang yang memerlukan persetujuan konres dan senat. 

Kondisi tersebut kemudian memicu panasnya persaingan politik antara partai Demokrat pendukung pemerintah dan partai Republik selaku oposisi dalam pembahasan RUU penangguhan plafon utang. Pemerintah melalui beleid baru itu mengajukan penangguhan batas utang hingga Desember, namun ditolak oleh partai Republik.

Partai Demokrat awal pekan ini berhasil meloloskan usulan ini dalam pemungutan suara di DPR. Namun, pembahasannya masih perlu mendapat restu dari Senat. Ini artinya partai Republik masih berpeluang menjegal RUU tersebut gagal diloloskan. Sementara Partai Demokrat hanya punya waktu kurang dari sepekan untuk meloloskan RUU tersebut sebelum tahun fiskal berakhir 30 September mendatang.

Konsekuensi jika RUU ini gagal lolos yakni pemerintahan Biden bersiap untuk Shutdown alias berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Mengutip CNBC, Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih mulai mengumumkan persiapan untuk memulai shutdown pekan depan, mengingat tenggat waktu senat untuk menyetujui penangguhan batas utang kurang dari seminggu lagi.

Selain gejolak di tubuh pemerintahan, pasar juga mulai mewaspadai exit policy yang akan dilakukan bank sentral AS (The Fed) akhir tahun ini. The Fed membeli obligasi pemerintah senilai US$ 120 miliar setiap bulan dan berencana menguranginya dalam waktu dekat. Kendati demikian, Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataannya pekan ini belum memberi keterangan yang jelas kapan rencana itu akan dimulai. Pasar mengantisipasi Powell akan mengumumkannya dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal bulan November.

Powell menegaskan bahwa pengurangan pembelian aset akan segera dimulai dan kemungkinan berakhir pertengahan tahun depan. Mayoritas anggota rapat FOMC juga mulai melihat inflasi akan bertahan tinggi hingga akhir tahun dan di atas ekspektasi 2%. Kondisi ini yang tampaknya mendorong mayoritas dari mereka juga mulai mempertimbangkan kenaikan suku bunga dilakukan tahun 2022 setelah sebelumnya The Fed berencana melakukannya pada tahun 2023.

Reporter: Abdul Azis Said