Potensi Gagal Bayar Utang AS Memicu Modal Asing Kabur Rp 5,7 T dari RI

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Kurs garuda ditutup ke level Rp 14.308 per dolar AS pada perdagangan pekan ini.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
1/10/2021, 20.03 WIB

Aksi jual asing di pasar keuangan domestik masih cukup tinggi pada pekan ini di tengah kekhwatiran pasar terhadap risiko gagal bayar utang pemerintah Amerika Serikat, krisis Evergrande hingga rencana tapering off AS. Bank Indonesia melaporkan modal asing kabur sebesar Rp 5,76 triliun dari pasar keuangan domestik dalam sepekan terakhir.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, asing melepas Rp 4,69 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 1,07 triliun di pasar saham. "Berdasarkan data setelmen selama awal tahun 2021, terdapat nonresiden beli neto Rp 9,28 riliun," ujar Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (1/10).

BI juga melaporkan premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia lima tahun naik ke level Rp 80,69 basis poin (bps) pada 30 September 2021. Posisinya naik dari 78,43 bps per 24 September 2021.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun ke level 6,32%, sedangkan yield obligasi pemerintah AS dengan tenor yang sama naik ke level 1,487%.

Kaburnya dana asing dari pasar keuangan domestik rupanya diikuti pelemahan nilai tukar rupiah. Kurs garuda ditutup ke level Rp 14.308 per dolar AS pada perdagangan pekan ini. Rupiah melemah 0,35% dari penutupan pekan di level Rp 14.308. Pelemahan terimbas panasnya pembahasan kenaikan plafon utang pemerintah AS, krisis utang Evergrande hingga sentimen tapering off alias pengetatan stimulus bank sentral AS yang masih cukup kuat.

Pasar tampaknya mulai khawatir usai Menteri Keuangan AS Janet Yellen membeberkan bahwa keuangan pemerintah semakin menipis dan berisiko gagal memenuhi kewajibannya pada 18 Oktober mendatang. Oleh karena itu, ia mendesak agar Kongres AS segera menyelesaikan RUU penangguhan batas utang. Dengan RUU ini, pemerintah dapat menarik utang melampaui batas yang ada saat ini hingga Desember tahun depan.

Namun, usulan ini telah menjadi magnet perdebatan antara partai Demokrat yang merupakan penyokong pemerintah dengan oposisi yakni partai Republik. Pada pemungutan suara awal pekan ini di Senat AS, Republik berhasil menjegal Demokrat dan RUU penangguhan batas utang gagal lolos.

RUU tersebut bukan hanya berisi ketentuan penangguhan batas utang, melainkan juga rencana pendanaan bagi pemerintah. Karena itu, sepekan terakhir pasar bukan hanya menyoroti risiko gagal bayar utang AS, melainkan juga risiko shutdown alias penutupan sementara operasional pemerintah karena usulan pendanaan ditolak.

Kendati demikian kekhawatiran shutdown mulai teredam. Kongres AS pada pemungutan suara Kamis malam (30/9) berhasil meloloskan RUU pendanaan pemerintah jangka pendek hingga 2 Desember mendatang meski perdebatan mengenai kenaikan batas utang belum reda. Ini lantaran RUU yang disepakati semalam hanya beleid yang berisi ketentuan pendanaan operasional pemerintah, tidak termasuk penangguhan batas utang.

Usai meloloskan RUU pendaan jangka pendek, Demokrat dihadapkan pada deadline untuk meloloskan RUU penangguhan batas utang. Kongres AS perlu mencapai kesepakatan terkait RUU ini sebelum tanggal 18 Oktober jika ingin terhindari dari berbagai risiko 'bencana ekonomi'. Yellen dalam pernyatannya di depan anggota Kongres pekan ini juga mengungkap default atau gagal bayar utang pemerintah berisiko menimbulkan krisis bahkan resesi ekonomi.

Di sisi lain, kekhawatiran terhadap utang menggunung raksasa properti Tiongkok Evergrande yang mencapai US$ 305 miliar masih membayangi pasar pekan ini. Mengutip Reuters, perusahaan dikabarkan kembali gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar kupon obligasi senilai US$ 47,5 miliar yang jatuh tempo pada Rabu (29/9).

Kewajiban pembayaran obligasi tersebut diketahui untuk pembayaran kepada investor luar negeri. Ini berarti kedua kalinya bagi Evergrande mangkir dari kewajibannya, setelah pekan lalu juga gagal membayar kupon obligasi milik investor luar negeri senilai US% 83,5 juta.

Namun, pemerintah Tiongkok tampaknya mulai turun tangan merespon krisis Evergrande. Perusahaan diketahui melakukan penjualan saham di Bank Shengjing senilai US$ 1,5 miliar pada pekan ini. Pembelinya merupakan salah satu perusahan negara yang bergerak di bidang manajemen aset. Hanya saja, hasil penjualan itu dikembalikan kepada Shenjiang sebagai bentuk kewajiban perusahaan yang juga diketahui menumpuk utang di bank tersebut.

Selain dua sentimen tersebut, rencana tapering off alias pengetatan stimulus bank sentral AS (The Fed) masih cukup signifikan pengaruhi pasar keuangan. Pasar tampaknya masih mengantisipasi The Fed bakal mengumumkan rencana tapering off pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal bulan depan, kemudian memulainya pada Desember.

Di sisi lain, The Fed tampaknya juga semakin dekat dengan rencana kenaikan suku bunga. Separuh dari anggota komita FOMC memberikan pandangannya bahwa inflasi mungkin bertahan akan lebih lama. Ini memicu pasar memperkirakan bahwa The Fed bakal mulai menaikkan suku bunga setelah pembelian aset berakhir pertengahan tahun depan. Itu artinya, ada peluang kenaikan suku bunga pada kuartal III 2022, ini jauh lebih cepat dari perkiraan semula kenaikan suku bunga pada tahun 2023.

Selama ini, The Fed melakukan pembelian aset senilai US$ 120 miliar setiap bulannya untuk mendukung pemulihan ekonomi AS. Aset ini teridiri atas US$ 80 miliar berupa obligasi pemerintah dan US$ 40 miliar berupa obligasi beragun hipotek.

Di tengah berbagai sentimen eksternal tersebut, laporan IHS Markit menunjukkan sektor manufaktur dalam negeri tampaknya mulai pulih. Hal ini terindikasi dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur pada Agustus yang masuk zona ekspansi di level 52,2. PMI Manufaktur RI membaik setelah dua bulan beruturt-turut terkontraksi atau berada di bawah indeks 50.

Meski begitu kabar membaiknya sektor manufaktur ini tampaknya tidak signifikan menghindarkan rupiah dari pelemahan. Pada hari yang sama, data ekonomi lainnya menunjukkan indikasi konsumsi masyarakat yang tertahan sekalipun PPKM sudah dilonggarkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September mencatat deflasi 0,04%. Ini merupakan deflasi kedua sepanjang tahun ini sejak penurunan terdalam pada Juni 2021 sebesar 0,16%.

Reporter: Abdul Azis Said