Bank Dunia memperingatkan utang kelompok negara berpenghasilan menengah dan rendah kini mencapai US$ 8,7 triliun atau lebih dari Rp 123 kuadriliun di 2020. Nilai ini naik 5,3% dibandingkan dengan 2019 akibat pandemi Covid-19.
Laporan Bank Dunia bertajuk bertajuk 'Statistik Utang Internasional 2022' juga menyebut soal kenaikan beban utang 2020. Nilainya mencapai US$ 860 miliar atau setara Rp 12 kuadriliun, naik 12% dibanding tahun sebelumnya.
Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengatakan pihaknya mendorong pendekatan komprehensif untuk masalah utang, termasuk pengurangan, restrukturisasi yang lebih cepat, dan peningkatan transparansi.
"Tingkat utang yang berkelanjutan sangat penting untuk pemulihan ekonomi dan pengurangan kemiskinan,” katanya melalui keterangan tertulis, Senin (11/10).
Bank Dunia mencatat, net inflow dari kreditur ke ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mencapai US$ 117 miliar sepanjang 2020. Ini merupakan level tertinggi dalam satu dekade terakhir. Net inflow berupa utang luar negeri pemerintah ke negara penghasilan rendah juga naik 25% menjadi US$ 71 miliar, menyentuh level tertinggi dalam satu dekade. Kemudian, kreditur multilateral, termasuk IMF menyediakan pinjaman sebesar US$ 42 miliar, sementara kreditor bilateral menyumbang tambahan US$ 10 miliar.
Selain itu, Bank Dunia juga mencatat, di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah, peningkatan utang luar negeri melampaui Pendapatan Nasional Bruto (GNI) dan pertumbuhan ekspornya. Rasio utang luar negeri terhadap GNI negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, tidak termasuk China, naik menjadi 42% pada tahun 2020 dari 37% pada tahun 2019. Sementara rasio utang terhadap ekspor mereka meningkat menjadi 154% pada tahun 2020 dari 126% pada tahun sebelumnya.
"Perekonomian di seluruh dunia menghadapi tantangan berat yang ditimbulkan oleh tingkat utang yang tinggi dan meningkat pesat," kata Wakil Presiden Senior dan Kepala Ekonom Grup Bank Dunia Carmen Reinhart.
Ia menyebut regulator perlu mempersiapkan kemungkinan tekanan utang ketika kondisi pasar keuangan menjadi kurang ramah, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
Bank Dunia menegaskan telah mendesak negara G20 memberi keringanan bagi negara berpenghasilan rendah. Pada KTT G20 di Italia pada April tahun lalu, negara-negara G20 menyepakati kerangka Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI) untuk memberikan kebijakan restrukturisasi utang bagi negara penghasilan rendah.
Restrukturisasi ini akan kembali diberikan pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi persnya bulan lalu mengatakan akan ada empat topik yang akan kembali dibahas dalam presidensi G20 Indonesia tahun depan. Salahnya adalah memberi dukungan pemulihan bagi negara miskin melalui restrukturisasi utang.
Negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi dampak pandemi Covid-19 yang lebih parah dibanding negara maju dan negara berkembang. IMF memperkirakan proses pemulihan dari Covid-19 negara berpenghasilan rendah butuh dana hingga US$ 200 miliar, serta tambahan US$ 250 miliar untuk membuat ekonomi mereka pulih ke kondisi sebelum pandemi.
IMF dalam laporan terbarunya bertajuk 'World Economic Outlook' yang rilis 27 Juli lalu memperkirakan ekonomi negara berpenghasilan rendah hanya akan tumbuh 3,9% tahun 2021. Ini lebih rendah dari prospek ekonomi negara-negara maju yang diramalkan tumbuh 5,6% serta negara berkembang 6,3%. Laporan tersebut juga mengungkapkan pemulihan ekonomi yang tidak merata disebabkan salah satunya oleh akses vaksin yang tidak adil.