Kemenkeu Ancam Wajib Pajak Tak Patuh yang Ikut Pengungkapan Sukarela

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Ilustrasi. Program pengungkapan sukarela (PPS) atau dikenal dengan tax amnesty jilid kedua akan mulai digelar 1 Januari 2021.
Penulis: Agustiyanti
3/11/2021, 18.28 WIB

Pemerintah akan mulai menggelar program pengungkapan sukarela (PPS) mulai 1 Januari 2021. Kementerian Keuangan menegaskan wajib pajak yang ikut dalam program ini harus sepenuhnya terbuka dan tidak mencoba mengakali harta yang akan dilaporkan. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, terdapat sejumlah perbedaan antara program pengungkapan sukarela yang akan digelar pemerintah dengan pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016-2017. Salah satunya adalah akses informasi yang kini dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. 

“Jadi, wajib pajak yang ingin ikut PSP harus patuh, jangan coba-coba karena Ditjen Pajak sekarang ini punya akses informasi dan nanti datanya akan divalidasi,” ujar Yustinus dalam media gathering Ditjen Pajak, Rabu (3/10). 

Kondisi saat ini, menurut Yustinus, berbeda dengan kendisi saat pemberlakuan amnesti pajak. Saat ini, menurut dia, Ditjen Pajak belum memiliki akses informasi data nasabah. 

“Saat tax amnesty, Ditjen Pajak tidak punya akses informasi sehingga tidak dapat melakukan tindak lanjut dengan mudah, maka saat ini dilakukan rekonsiliasi dengan tarif yang lebih rendah,” kata dia. 

Selain soal akses informasi, Yustinus menjelaskan, perbedaan kedua program ini juga terletak pada tarif yang dikenakan. Dalam UU HPP yang disahkan paripurna akhir bulan lalu, program ini akan dilaksanakan dalam dua skema. 

Pertama, harta yang diperoleh WP sejak tanggal 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 atau sebelum periode tax amnesty jilid pertama. Kedua, pelaporan harta yang diperoleh pada 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020 atau setelah tax amnesty dan belum diungkapkan dałam SPT.

Harta yang dilaporkan akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak penghasilan bersifat final. Perhitungannya dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. 

Pada skema pertama, akan berlaku tarif pajak sebagai berikut:

  • Tarif 6% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
  • Tarif 8% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
  • Tarif 11% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Kemudian ketentuan tarif untuk skema kedua, sebagai berikut:

  • Tarif 12% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
  • Tarif 14% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
  • Tarif 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan pemerintah masih mendalami detail teknis terkait ketentuan detail terkait penempatan dana repatriasi di sektor-sektor tertentu yang akan mendapat keringanan 

"Kami masih rumuskan pengaturan terkait penempatannya seperti apa yang paling tepat. Ini sedang dalam proses diskusi, termasuk dengan kementerian dan lembaga lain terkait harta yang yang akan ditempatkan untuk sektor SDA yang dihilirisasi," kata Yon.  

Ketentuan-ketentuan ini nantinya akan diatur dalam peraturan turunan UU HPP. Ia menyebut, peraturan terkait aturan turunan terkait PSP akan menjadi salah satu yang diprioritaskan segera terbit setelah UU HPP diteken Presiden Joko Widodo.