Pemerintah menetapkan pajak karbon minimal Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Meski demikian, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menekankan pajak karbon tidak diarahkan untuk mendapatkan penerimaan negara.
“Pajak Karbon ini untuk mendukung pasar karbon. Jadi dengan demikian, tidak ada target penerimaan dari pemerintah,” ujar Febrio dalam diskusi dengan media di Jakarta, Senin (29/11).
Pada tahap awal, pajak karbon akan diimplementasikan pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Penerimaan dari instrument ini, menurut Febrio, kemungkinan tak akan signifikan terhadap penerimaan negara.
Ia menjelaskan, pemerintah tak mengenakan pajak atas seluruh emisi yang dikeluarkan PLTU. Ada cap atau batas yang ditetapkan pemerintah dan pasar perdagangan karbon yang tengah diciptakan pemerintah. Adapun implementasi pajak karbon akan diselaraskan dengan mekanisme perdagangan karbon.
Menurut Febrio, entitas yang mengeluarkan emisi karbon di atas cap atau batas dapat membeli jin dari entitas yang mengeluarkan emisi karbon di bawah cap dengan membeli seritifikat penurunan emisi. Namun jika enititas tersebut masih memiliki kelebihan emisi karbon yang dikeluarkan dari batas pemerintah dan sertifikat penurunan emisi yang dimiliki, maka entias tersebut wajib membayarkan pajak karbon.
“Jika diterapkan April 2022 dengan simulasi yang dilakukan Kementerian ESDM, itu ada sekitar kelebihan 1 juta ton. Dengan pajak karbon minimal Rp 30 per kg, maka hanya diperoleh sekitar Rp 30 miliar,” kata dia.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana juga menegaskan penerimaan negara bukan menjadi tujuan pemerintah menetapkan kebijakan pajak karbon. Ini hanya instrumen untuk memaksimalkan pasar perdagangan pasar.
“Kami bahkan sedang mendiskusikan tidak hanya cap dan trading tetapi juga offset. Jadi kalau PLTU saya kelebihan 100, tidak lantas selesai dengan membeli sertifikat penurunan. Kami ingin ada upaya juga mereka untuk mengurangi emisi,” kata dia.
Ia mencontohkan, hal tersebut dapat dilakukan antara lain dengan menetapkan kewajiban 30% dari kelebihan karbon dengan mengurangi emisi, salah satunya dengan membangun pembangkit listrik tenaga atap.
Adapun tarif pajak karbon, menurut dia, nantinya dapat menyesuaikan sejalan dengan perkembangan pasar perdaganga karbon di dalam negeri.