IMF Peringatkan Risiko Besar Utang Dunia Tembus Rp 3.187 Kuadriliun

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/rwa.
Ilustrasi. IMF mencatat lebih dari separuh kenaikan utang dunia tahun lalu berasal dari penarikan yang dilakukan pemerintah.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
16/12/2021, 11.21 WIB

Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan utang negara-negara dunia semakin membengkak akibat meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk Covid-19. Dalam laporan terbaru, nilai kumulatif utang dunia pada tahun lalu mencapai US$ 226 triliun atau setara Rp 3.187 kuadriliun (kurs jisdor akhir 2020 sebesar Rp 14.105 per dolar AS)

Berdasarkan laporan Global Debt Database IMF yang terbaru, utang dunia melonjak US$ 28 triliun dalam setahun. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia juga naik 28 poin menjadi 256%. Ini merupakan kenaikan utang tertinggi sejak perang dunia kedua

IMF mencatat lebih dari separuh kenaikan utang dunia tahun lalu berasal dari penarikan yang dilakukan pemerintah. Utang pemerintah mencapai 99% terhadap PDB, atau kontributor terbesar utang dunia tahun lalu. Utang dari perusahaan non-keuangan sebesar 98% terhadap PDB, sedangkan sisanya merupakan utang rumah tangga.

Peningkatan utang sangat mencolok di negara-negara maju. Utang pemerintah naik dari sekitar 70% PDB pada 2007 menjadi 124% dari PDB pada tahun lalu. Di sisi lain, utang swasta yang merupakan gabungan utang rumah tangga dan utang perusahaan nonkeuangan, naik pada kecepatan yang lebih moderat dari 164% menjadi 178% terhadap PDB.

IMF memberikan catatan, bahwa dinamika utang sangat berbeda antarnegara. Ekonomi maju dan Cina menyumbang lebih dari 90% dari lonjakan utang tahun lalu. Ini dipengaruhi kemampuan negara-negara tersebut untuk memperluas utang publik dan swasta meskipun pandemi, didukung suku bunga rendah, pasar keuangan yang berkembang pesat  serta kemampuan bank sentralnya menyediakan likuditas.

"Tetapi sebagian besar negara berkembang berada di sisi yang berlawanan dari kesenjangan pembiayaan. Mereka memiliki akses terbatas ke pendanaan dan seringkali menghadapi tingkat pinjaman yang lebih tinggi," demikian dikutip dari lama resmi IMF, Kamis (16/12).

Menurut IMF, ada perbedaan antara utang yang dimiliki negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Utang pemerintah negara maju pada tahun lalu naik 19 poin persentase terhadap PDB dari posisi tahun sebelumnya. Ini merupakan laju yang sama dengan lonjakan utang pemerintah saat krisis keuangan global 2008-2009.

IMF juga mencatat, utang swastapat. Persentasi utangnya naik 14 poin atau dua kali dari kenaikan utang saat krisis keuangan global. Hal ini karena selama pandemi, pemerintah dan bank sentral di negara maju justru mendorong penarikan utang yang lebih besar oleh sektor swasta.

"Sementara selama krisis keuangan global, tantangannya adalah bagaimana menahan kerusakan dari sektor swasta yang dieksploitasi secara berlebihan," tulis laporan tersebut.

Pasar negara berkembang, tidak termasuk Cina, menyumbang sebagian kecil dari kenaikan utang global tahun lalu. Nilainya berkisar US$ 1- US$ 1,2 triliun, terutama karena kenaikan utang pemerintah yang telah mencapai rekor tertingginya. Begitu juga di negara berkembang, tingkat utang melonjak ke level tertingginya dalam dua dekade terakhir.

Utang negara miskin tetap meroket sekalipun mereka sebenarnya sudah mendapat manfaat dari penyaluran utang berbunga rendah serta inisitaif pengurangan utang dari berbagai kreditur.

"Namun demikian, baik pasar negara berkembang maupun negara-negara berpenghasilan rendah juga menghadapi peningkatan rasio utang yang didorong oleh penurunan besar dalam PDB nominal pada tahun 2020," tulis laporan tersebut.

Selain itu, IMF juga memberikan catatan bahwa kenaikan utang tersebut bukan hanya bermanfaat positif karena dipakai untuk melindungi masyarakata dan ekonomi. Lonjakan utang juga meningkatkan kerentanan, terutama dari sisi pembiayaan pemerintah untuk mendukung pemulihan dan investasi jangka menengah.

Belum lagi sejumlah bank sentral dunia juga bersiap memperketat kebijakan moneternya sebagai respon atas inflasi yang memanas. Kenaikan suku bunga oleh bank sentral menyebabkan biaya pinjaman semakin mahal.

Beberapa bank sentral juga sudah mengurangi likuiditasnya dengan mengurangi pembelian aset secara besar-besaran. Pengurangan ini akan berimplikasi terhadap pemulihan ekonomi dan kondisi fiskal negara tersebut.

"Risiko (utang) semakin besar jika suku bunga global naik lebih cepat dari yang diharapkan dan pertumbuhan goyah. Pengetatan kondisi keuangan yang signifikan akan meningkatkan tekanan pada pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan yang paling berutang tinggi," tulis IMF.

Reporter: Abdul Azis Said