Chatib Basri Paparkan 3 Pilihan Sulit BI dan Pemerintah Hadapi The Fed

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ekonom Chatib Basri memperkirakan BI tidak akan menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini untuk merespons kebijakan The Fed.
Penulis: Agustiyanti
9/2/2022, 21.48 WIB

Bank Sentral Amerika Serikat diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuannya secara agresif pada tahun ini. Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri menyebut, ada tiga pilihan kebijakan yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah dan BI untuk merespons kenaikan The Fed Fund Rate (FFR). 

"Pemerintah dan BI punya tiga pilihan; membiarkan rupiah terdepresiasi, Bank Indonesia menaikkan suku bunga, atau pemerintah memperketat kebijakan," ujar Chatib Basri  dalam Mandiri Investment Forum 2022, Rabu (21/2). 

Ia menjelaskan, tak mudah bagi BI menaikkan suku bunga dalam kondisi saat ini. Inflasi masih rendah di kisaran 3% dan ekonomi belum sepenuhnya pulih. "Mungkin tahun depan, ada kemungkinan BI menaikkan suku bunga, tetapi saya rasa tidak tahun ini," katanya. 

Menurut Chatib, kenaikan suku bunga BI akan menimbulkan biaya ekonomi yang mahal jika diterapkan pada tahun ini. Kebijakan ini dapat menahan pemulihan ekonomi. 

Di sisi lain, menurut dia, pemerintah kemungkinan tidak akan memperketat fiskal pada tahun ini meski defisit APBN pada tahun depan ditargetkan kembali berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) sudah bilang, dia akan terus mendukung pemulihan ekonomi," ujarnya. 

Oleh karena itu, Chatib menilai, opsi paling ideal untuk merespons kenaikan suku bunga The Fed adalah membiarkan rupiah terdepresiasi atau melemah. "Ini sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi, mengapa rupiah melemah dari Rp 14 ribu per dolar AS menjadi Rp 14.400 per dolar AS," kata dia. 

Selain itu, salah satu kebijakan yang paling mungkin ditempuh BI adalah memperketat kebijakan makroprudensial. Hal ini telah ditempuh BI dengan menerapkan kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan secara bertahap mulai bulan depan. 

"Jadi kebijakan BI saat ini juga bukan menahan rupiah pada level tertentu, tetapi menjaga volatilitas dan arus modal asing," kata dia. 

Meski demikian, Chatib memperkirakan pelemahan rupiah tak akan seburuk seperti  periode kenaikan suku bunga AS pada 2013. Dua faktor utama yang mendukung adalah porsi kepemilikan asing di surat berharga negara yang kini hanya mencapai 19% dan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang rendah. 

Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menjelaskan, porsi kepemilikan asing di SBN pada periode taper tantrum tahun 2013 mencapai 39%. Hal ini membuat nilai tukar rupiah melemah tajam akibat aliran modal asing yang keluar dalam jumlah besar dari pasar SBN. 

Di sisi lain, menurut dia, defisit transaksi berjalan saat itu juga sangat tinggi yakni mencapai 4,4% terhadap PDB. "CAD sangat tinggi karena ekonomi saat itu overheating akibat pertumbuhan yang mencapai 6%," kata Chatib. 

Ekonomi Indonesia yang disokong oleh impor, menurut dia, menjadi penyebab defisit transaksi berjalan membengkak. Namun, defisit transaksi berjalan tak menjadi masalah pada tahun ini.

Ekonomi yang terkontraksi pada tahun 2020 sebesar 2,07% dan tumbuh 3,69% pada tahun lalu membuat permintaan impor barang modal dan bahan baku masih rendah. 

"Kita juga beruntung terjadi booming pada harga komoditas. Dengan ini, tidak ada lagi isu CAD," kata Chatib. 

Hal ini menurut dia, menjelaskan kondisi rupiah yang masih stabil di kisaran Rp 14 ribu hingga Rp 14.400 per dolar AS meski The Fed telah mengumumkan rencana kenaikan suku bunganya. 

Namun, Chatib juga mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed akan berdampak pada harga komoditas di sektor energi. Hal ini karena investor akan memindahkan investasinya dari pasar komoditas ke pasar finansial. "Mungkin harga CPO dan batu bara akan mulai kembali normal pada 2023,  ini akan menjadi tantangan bagi fiskal pada tahun depan," ujarnya.