Inflasi AS Melonjak 7,5% pada Januari, The Fed akan Lebih Agresif?
Inflasi Amerika Serikat pada Januari mencapai 7,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, tertinggi sejak Februari 1982. Inflasi harga konsumen yang tinggi di ekonomi terbesar dunia ini terjadi dalam 12 bulan terakhir, memperkuat kemungkinan The Federal Reserve menaikkan bunga pada bulan depan.
Mengutip CNBC, data inflasi yang dirilis pada Kamis (11/2) lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan Dow Jones sebesar 7,2%.
Kenaikan inflasi terutama didorong oleh harga gas dan bahan makanan. Namun di luar itu, inflasi inti mencapai 6%, lebih tinggi dari perkiraan 5,9% dan tertinggi sejak Agustus 1982. Inflasi inti bulanan juga lebih tinggi dari perkiraan mencapai 0,6%.
Tingkat CPI bulanan juga lebih panas dari yang diharapkan, dengan headline dan CPI inti keduanya naik 0,6%, dibandingkan dengan perkiraan kenaikan 0,4% oleh kedua ukuran.
Pasar saham anjlok setelah laporan inflasi dirilis. Saham-saham terkait teknologi yang sensitif terhadap suku bunga paling terpukul. Imbal hasil obligasi pemerintah AS naik tajam, dengan benchmark Treasury 10-tahun menyentuh 2%, tertinggi sejak Agustus 2019.
Pasar juga menjadi lebih agresif dalam memperkirakan kenaikan suku bunga ke depan. Kenaikan suku bunga Fed 0,5% pada Maret yang semula hanya diperkirakan 23% dari responen survei naik menjadi 44,3% berdasarkan data CME. Sementara kenaikan 0,25% yang semula diperkirakan 63% responden turun menjadi 53%.
"Dengan lonjakan inflasi mengejutkan lainnya pada Januari, pasar terus khawatir tentang Fed yang agresif," kata Barry Gilbert, ahli strategi alokasi aset di LPL Financial.
Ia mengatakan, kecemasan pasar tentang potensi pengetatan kebijakan oleh The Fed tidak akan hilang sampai ada tanda-tanda yang jelas bahwa inflasi akan terkendali.
Harga makanan dan biaya tempat tinggal naik tajam pada Januari. Inflasi diperkirakan akan menekan laju penulihan ekonomi AS. Pertumbuhan ekonomi AS yang mencatatkan laju tercepat pada 2021 diperkirakan akan melambat tahun ini karena stimulus fiskal dan moneter yang berkurang. Namun, pertumbuhan masih diperkirakan berada di atas tren, meskipun kenaikan suku bunga yang lebih tajam dari Fed untuk melawan inflasi.
Secara persentase, bahan bakar minyak naik paling tinggi pada Januari, melonjak 9,5% secara bulanan atau 46,5% secara tahunan. Biaya energi secara keseluruhan naik 0,9% secara bulanan atau 27% secara tahunan.
Biaya kendaraan, yang telah menjadi salah satu kontributor inflasi terbesar sejak mulai melonjak lebih tinggi pada musim semi 2021, terjadi kenaikan 1,5% pada mobil dan truk bekas bulan lalu. Kedua kategori telah membukukan kenaikan harga masing-masing 12,2% dan 40,5% selama 12 bulan terakhir.
Biaya tempat tinggal, yang membentuk sekitar sepertiga dari total inflasi meningkat 0,3% secara bulanan. Ini merupakan kenaikan terkecil sejak Agustus 2021 dan sedikit di bawah kenaikan Desember. Namun, harga kategori barang ini telah naik 4,4% selama tahun lalu.
Semenatara biaya makanan melonjak 0,9% secara bulanan atau naik 7% secara tahunan.
"Kombinasi harga pangan dan perumahan yang lebih tingg ini menggarisbawahi pandangan kami bahwa percepatan siklus inflasi yang cepat sedang berlangsung dan dengan kondisi pasar tenaga kerja yang sangat ketat, kemungkinan tidak akan mereda dalam waktu dekat,” kata Andrew Hunter, senior A.S. ekonom di Capital Economics.
Ia mengatakan, inflasi masih jauh dari target The Fed meskipun efek dasar inflasi pada bulan berikutnya akan menguntungkan dan mendorong inflasi lebih rendah pada bulan-bulan ke depan.
Ledakan inflasi telah membungkam pertumbuhan pendapatan para pekerja yang cukup besar. Penghasilan per jam rata-rata riil naik hanya 0,1% untuk bulan kemarin karena inflasi yang mencapai 0,6% meski upah nominal naik 0,7% secara bulanan.
Laporan terpisah pada hari Kamis menunjukkan bahwa klaim pengangguran mingguan mencapai 223.000 untuk pekan yang berakhir 27 Februari, penurunan 16.000 dari minggu sebelumnya dan di bawah perkiraan 230.000. Itu adalah total terendah sejak 1 Januari.