Indonesia saat ini bekerja sama empat negara Asia dalam penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal alias local currency settlement (LCS). Presiden Direktur Bank Central Asia atau BCA Jahja Setiaatmadja membeberkan beberapa keuntungan penggunaan LCS dalam transaksi internasional ini.
Empat negara yang bekerja sama dengan Indonesia dalam implementasi LCS, yakni Cina, Jepang, Malaysia dan Thailand. Transaksi perdagangan hingga layanan remitansi dengan negara tersebut bisa menggunakan mata uang lokal masing-masing negara tanpa perlu dikonversi dalam bentuk dolar AS.
LCS memberikan keuntungan efisiensi terutama bagi pelaku usaha ekspor maupun impor. Pada metode konvensional, importir maupun eksportir asal Indonesia, harus mengkonversi harga barang dari rupiah ke dolar. Setelah itu, nilai dalam dolar dikonversi kembali ke mata uang negara mitra.
"Dua tahap itu berarti ada dua kali pricing yang harus ditanggung kedua belah pihak," kata Jahja dalam diskusi side event finance track G20 Indonesia secara daring, Rabu (16/2).
Sebaliknya bila menggunakan LCS, maka rupiah langsung dikonversi ke mata uang negara mitra. "Dalam bentuk renminbi Cina, yen Jepang, baht Thailand atau ringgit Malaysia. Hanya sekali konversi," kata Jahja.
LCS juga menguntungkan dari segi waktu. Dalam metode yang lama, transfer ke Jepang atau Cina perlu terlebih dahulu mengkonversi rupiah ke dolar AS, dengan demikian setelmennya juga mengikuti zona waktu Amerika. Sehingga, proses setelmen tersebut akan lebih lama karena adanya perbedaan zona waktu.
"Kalau ada masalah untuk bantu setelmen, terkadang masalahnya karena di sini siang di Amerika tengah malam, kalau langsung straight forward kan itu efisiensinya luar biasa karena berada berada dalam zona waktu yang hampir sama, dengan Jepang bedanya 1-2 jam maklum lah," kata Jahja.
Keuntungan LCS lainnya yakni efisiensi biaya yang lebih kompetitif. LCS dilakukan dengan kuotasi langsung serta tarif dan fee untuk konversinya pun menjadi lebih kompetitif. Belum lagi, beberapa bank ACCD selaku bank yang memfasilitasi LCS juga biasanya punya penawaran-penawaran khusus untuk LCS ini. "Kami juga memberikan promosi atau memberikan cashback transaksi, di BCA misalnya, fee telex kita cashback," kata Jahja.
Indonesia memulai kerja sama LCS pertama kali pada 2018 dengan Malaysia dan Thailand. Pada September 2020, Bank Indonesia (BI) memulai LCS dengan Jepang dan pada September 2021 kerja sama LCS diperluas dengan Cina.
Seiring pertambahan jumlah negara mitra LCS tersebut, nilai transaksi LCS juga terus menanjak. Pada tahun lalu, total transaksi mencapai US$ 2,53 miliar atau Rp 36,18 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Nilai transaksi LCS Indonesia tahun lalu melonjak tiga kali lipat dibandingkan tahun 2020.
Peningkatan pada transaksi LCS tahun lalu seiring pemerintah memulai kerja sama implementasi LCS dengan Cina di paruh kedua 2021. Rata-rata transaksi bulanan LCS RI-Cina bahkan mencapai US$ 128 juta. Nilai ini jauh di atas transaksi LCS dengan Jepang, Malaysia dan Thailand.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan nilai transaksi menggunakan LCS ini akan terus naik. Pendorongnya terutama dari transaksi dengan Cina. Hal ini tidak lepas karena negeri tirai bambu itu juga merupakan negara mitra dagang utama RI, karena itu LCS sangat relevan untuk menunjang transaksi dagang kedua negara.
"Karena dengan Cina harus pakai underlying meskipun Rp 1 juta rupiah. Makanya kami mengusulkan pakai threshold saja, misalnya di bawah thershold tidak usah ditanya underlyingnya," kata Hariyadi dalam acara yang sama dengan Jahja.
Di samping mengupayakan adanya threshold untuk transaksi bebas underlying, Hariyadi juga mengusulkan agar lembaga terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa memberikan kelonggaran untuk audit perbankan terkait LCS ini. Di samping itu, dia meminta BI bisa memperluas kerja sama LCS dengan beberapa negara lain yang potensial seperti India, Korea Selatan, Arab Saudi hingga Rusia.