BIS: Negara Emerging Market Tangguh Respons Pengetatan Moneter The Fed

@federealreserve/twitter
Ilustrasi. The Fed berencana menaikkan suku bunga acuan mulai bulan depan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
2/3/2022, 15.25 WIB

Bank for International Settlements (BIS) menilai kondisi ekonomi negara emerging market cukup tangguh menghadapi rencana pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Hal ini terlihat dari mata uang beberapa negara berkembang yang masih berhasil terapresiasi dan aliran modal yang bergerak pulih.

"EME terbukti tangguh di tengah kondisi yang beragam," kata BIS dalam laporan kuartalannya dikutip Rabu (2/3).

Dolar AS justru diperdagangkan terdepresiasi terhadap sebagian besar mata uang negara emerging di awal tahun ini. Mata uang Renminbi Cina melanjutkan penguatan terhadap dolar AS. Tetapi pengecualian bagi lira Turki yang terdepresiasi signifikan pada Desember 2021, disusul rubel Rusia yang jatuh dalam perdagangan beberapa waktu terakhir akibat meningkatnya ketegangan geopolitik.

Mata uang negara-negara berkembang di Amerika Latin mencatat kinerja positif. Setelah terdepresiasi sepanjang paruh kedua tahun lalu, mata uang negara-negara Amerika Latin mengalami apresiasi signifikan saat tahun baru dimulai meskipun tingkat inflasi relatif tinggi.

"Bank-bank sentral di kawasan ini termasuk yang paling proaktif secara global dalam menaikkan suku bunga kebijakan dalam menghadapi tekanan inflasi yang kuat. Hal itu pada gilirannya melebarkan perbedaan dengan suku bunga acuan AS, memperkuat daya tarik mata uang lokal," kata BIS.

Penguatan pada mata uang lokal tampaknya sebagian didukung oleh investor nonresiden yang melakukan beli aset mata uang lokal. Sebagai contoh, kepemilikan investor atas obligasi pemerintah Meksiko dan Brasil meningkat untuk pertama kalinya sejak pertengahan 2020.

Meski demikian, kondisi pendanaan pemerintah di beberapa wilayah mengalami pengetatan. Sejak November, tingkat yield jangka pendek untuk mata uang lokal meningkat paling signifikan di Amerika Latin dan negara emerging di Eropa, Timur Tengah dan Afrika (EMEA). Sebagian besar dipengaruhi langkah bank sentralnya menaikkan suku bunga.

Kenaikan yield di negara-negara emerging Asia lebih tenang dan cenderung miring dalam jangka panjang. Kinerja tersebut tidak lepas dari kondisi inflasi di kawasan ini yang umumnya lebih rendah sehingga tekanan untuk memperketat kebijakan moneter juga lebih kecil.

Aliran modal ke negara emerging juga menunjukkan pemulihan, terutama didorong oleh aliran masuk ke pasar saham di Asia. Aliran modal ke pasar obligasi beragam, dengan aliran keluar besar-besaran pada Desember 2021 tetapi terdapat aliran masuk di Januari 2022.

"Cina menerima bagian terbesar dari arus masuk dana obligasi, mungkin karena perspektif penurunan lebih lanjut dalam imbal hasil," kata BIS.

Aliran dana ekuitas yang masuk ke emerging Asia mendapatkan momentum lebih lanjut pada bulan Desember dan Januari, terutama di Cina juga Korea Selatan dan Taiwan. Aliran modal terus menunjukkan sentimen investor yang menguntungkan terhadap negara emerging Asia.

The Fed telah memulai tapering off berupa pengurangan pembelian aset pada akhir November. Kenaikan inflasi yang berlanjut telah mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun. Kondisi ini mendorong The Fed bersiap menaikan bunga acuannya yang diperkirakan akan dimulai bulan ini. 

Reporter: Abdul Azis Said