Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Februari surplus US$ 3,83 miliar, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya US$ 930 juta maupun periode yang sama tahun lalu US$ 2,1 miliar. Kenaikan surplus didorong oleh kenaikan ekspor di tengah penurunan impor.
"Tren surplus ini sudah terjadi dalam 22 bulan terakhir secara beruntun. Harapan kita semua agar tren surplus dapat terus terjaga dan mendorong pemulihan ekonomi," ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Selasa (15/3).
Ia menjelaskan, surplus terutama berasal dari komoditas nonmigas seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, serta besi dan baja. Sementara berdasarkan negara penyumbangnya, Amerika Serikat masih memberikan sumbangan terbesar mencapai US$ 1,87 miliar, disusul India US$850,8 juta dan Filipina US$ 725,9 juta.
"Sementara defisit perdagangan terbesar kita dengan Cina mencapai US$ 909,4 juta, komoditasnya terutama mesin dan peralatan mekanis. Kita juga defisit dengan Thailand US$ 593,8 juta dan Australia US$ 403,6 juta," katanya.
Ia menjelaskan, ekspor pada Februari 2020 naik 6,73% dibandingkan bulan sebelumnya atau melonjak 34,14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 20,46 miliar. Sementara itu, impor turun 8,64% secara bulanan tetapi naik 25,43% secara tahunan menjadi US$ 16,63 miliar.
"Selama Januari-Februari terlihat bahwa secara total maupun hanya nonmigas, kondisi ekspor Indonesia tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu," ujarnya.
Ia menjelaskan, kenaikan ekspor nonmigas pada bulan lalu terutama didorong oleh ekspor pertambangan dan lainnya yang melonjak 65,82% dibandingkan bulan sebelumnya atau 84.61% dibandingkan Februari 2021 US$ 65,82 miliar.
"Ekspor sektor pertambangan ini terutama didorong oleh ekspor batu bara yang naik 75,4% secara tahunan dan biji tembaga naik 319,95%," katanya.
Sementara ekspor industri pengolahan dan pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatatkan penurunan secara bulanan masing-masing -1,23% dan -10,16%. Namun, ekspor industri pengolahan masih naik 10,36% secara tahunan menjadi US$ 0,34 miliar, sedangkan industri pertanian, kehutanan, dan perikanan naik 27,95% menjadi US$ 15,53 miliar.
Kinerja sektor pertambangan dan migas yang tumbuh tinggi terutama didorong oleh kenaikan harga komoditas. Harga minyak Indonesia (ICP) naik dari US$ 85,89 per barel menjadi US$ 95,72 per barel pada Februari. Kenaikan juga terjadi pada beberapa harga komoditas nonmigas secara bulanan. Harga batu bara naik 16,5%, minyak kelapa sawit 13,2%, minyak kernel 11,24%.
"Aluminium, nikel, emas, tembaga, dan karet juga mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga komoditas ini berpengaruh terhadap ekspor," ujarnya.
Kenaikan ekspor terutama terjadi untuk tujuan India sebesar US$ 394,4 juta, Swiss US$ 351 juta, dan Korsel US$ 220,8 juta, Cina US$ 208,4 juta, dan Jepang US$ 193,1 juta.
"Sementara penurunan tertinggi terjadi untuk tujuan Amerika Serikat US$ 171,7 juta, Mesir US$ 58,8 juta, Italia US$ 49,4 juta, Afrika Selatan US$ 47,5 juta, dan Jerman US$ 44,6 juta," katanya.
BPS juga mencatat impor pada bulan lalu yang turun secara bulanan terutama didorong oleh penurunan impor migas sebesar 14,05% menjadi US$ 2,9 miliar. Sedangkan impor nonmigas naik 14,84% menjadi US$ 13,74 miliar. Namun demikian, impor migas dan nonmigas masih mencatatkan kenaikan tinggi dibandingkan tahun lalu masing-masing mencapai 30,19% dan 122,52%.
Adapun berdasarkan kelompok barang, penurunan impor tertinggi terutama terjadi pada barang konsumsi yang mencapai 23,85% secara bulanan atau 3,06% secara tahunan menjadi US$ 1,2 miliar. Sementara impor barang modal turun 7,03% secara bulanan tetapi naik 20,98% secara tahunan menjadi US$ 2,6 miliar. Impor bahan baku/penolong juga turun 7,22% secara bulanan tetapi naik 29,98% secara tahunan menjadi US$ 12,83 miliar.
"Ini kabar baik peningkatan bahan baku penolong dan barang modal secara tahunan, artinya kapasitas produksi meningkat," ujarnya.
Berdasarkan jenis barang berdasarkan HS kode dua digit, penurunan impor terbesar terjadi pada besi dan baja mencapai US$ 368,2 juta, perlengkapan elektrik US$ 314,6 juta, serta mesin dan peralatan mekanis US$ 252,3 juta. Sedangkan kenaikan impor tertinggi terjadi pada kelompok barang gula dan kembang gula US$ 117,8 juta, bijih logam terak dan abu US$ 89,1 juta, serta bahan bakar mineral US$ 53,1 juta .
"Gula dan kembang gula berasal dari Thailand, India dan Jerman," katanya.
Secara total, impor pada dua bulan pertama tahun ini naik 31,04% menjadi US$ 34,85 miliar. Sedangkan ekspor naik 29,75% mencapai US$ 39,64 miliar. "Neraca perdagangan pada Januari-Februari 2022 surplus US$ 4,97 miliar," katanya.