Tak Ikuti The Fed, Ini Tolak Ukur BI Menaikkan Suku Bunga

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, respons kebijakan BI dari sisi moneter bukan hanya melalui kebijakan bunga, tetapi juga melalui pengurangan likuiditas
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
17/3/2022, 18.26 WIB

Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuan di level terendah sepanjang sejarah sebesar 3,5% meski Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve mulai menaikkan suku bunga. BI menyebut, kenaikan suku bunga akan bergantung pada kondisi inflasi inti di dalam negeri. 

"Perlu saya tegaskan bahwa kebijakan moneter merespons kenaikan inflasi yang bersifat fundamental, yaitu kenaikan inflasi inti. Tidak merespon secara langsung kenaikan harga bergejolak maupun harga yang diatur pemerintah," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI bulan Maret, Kamis (17/3).

BI telah mempertahankan bunga acuan sebesar 3,5% sejak Februari 2018, setelah menurunkan sebanyak 125 basis poin (bps) atau 1,25% sejak awal pandemi dalam rangka  menolong pandemi. Bunga rendah ini tetap dipertahankan meski banyak negara-negara yang mulai menaikan bunga acuannya.

The Fed baru saja mengumumkan kenaikan bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 0,25%-0,5%. Ini adalah kenaikan bunga pertama The Fed setelah tiga tahun mempertahankannya di level rendah mendekati 0%. Kenaikan ini untuk merespon inflasi Amerika yang kini sudah menyentuh rekor tertingginya dalam empat dekade terakhir.

Adapun Perry melihat inflasi domestik pada tahun ini akan tetap terkendali dalam sasaran 2%-4%. Kondisi ini sejalan dengan masih memadainya sisi penawaran dalam merespons kenaikan sisi permintaan, tetap terkendalinya ekspektasi inflasi, stabilitas nilai tukar Rupiah, serta respons kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah.

Menurut Perry,  risiko efek limpahan dari kenaikan harga-harga dunia akibat perang Ukraina dan Rusia terhadap inflasi domestik akan bergantung terhadap beberapa kondisi. Namun dampak dari perang ini memang salah satunya akan terlihat dari sisi kenaikan inflasi global, terutama yang berasal dari kenaikan harga energi.

"Implikasi dari kenaikan harga komoditas global terhadap inflasi (domestik) akan sangat tergantung dari respons kebijakan  pemerintah terkait fiskal dan juga kenaikan harga administered price, koordinasi terus dilakukan dengan pemerintah,," kata Perry.

Dia kembali menegaskan bahwa respons kebijakan BI dari sisi moneter tak hanya terbatas pada kebijakan bunga, tetapi juga mencakup pengurangan likuiditas. "Respon kebijakan moneter BI bisa dalam bentuk penyerapan likuiditas lebih besar, tapi tentu saja itu bergantung pada perkembangan-perkembangan yang ada," kata Perry.

BI saat ini sudah memulai menyedot likuiditas di pasar lewat kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan secara bertahap hingga kuartal ketiga tahun ini. Penyesuaian secara bertahap GWM rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dengan kenaikan 1,5% berlaku mulai Maret 2022, kenaikan 1% mulai Juni dan 0,5% di September. Sementara itu, kenaikan GWM untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sebesar 0,5% pada Maret, Juni dan Agustus.



Reporter: Abdul Azis Said