Kementerian Keuangan mencatat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam dua bulan pertama tahun ini mencetak surplus Rp 19 triliun. Surplus APBN ditopang kenaikan penerimaan negara berkat lonjakan harga komoditas.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, surplus APBN bulan lalu lebih rendah dibandingkan Januari yang mencapai Rp 28,9 triliun. Namun, angka ini jauh lebih baik dibandingkan Februari 2021 yang mencatatkan defisit anggaran Rp 63,3 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, keseimbangan primer per Februari 2022 juga mencatatkan surplus mencapai Rp 61,7 triliun, lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya Rp 49,4 triliun. Surplus pada keseimbangan primer dan APBN secara keseluruhan terutama terjadi berkat kenaikan penerimaan negara yang mencapai 37,7% secara year on year menjadi Rp 302,4 triliun.
Ia memerinci, penerimaan pajak naik 36,5% menjadi Rp 199,4 triliun, kepabeanan dan cukai melesat 59,3% menjadi Rp 56,7 triliun, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terdongkrak 22,5% menjadi Rp 46,2 triliun.
"Kinerja penerimaan negara menggambarkan pemulihan ekonomi yang menggeliat cukup kuat di seluruh sektor. Lonjakan harga komoditas juga memberikan kontribusi besar pada kenaikan pendapatan negara," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Maret, Senin (28/3).
Di sisi lain, Sri mulyani mencatat kinerja belanja negara hingga Februari 2022 masih lemah, turun 0,1% dibandingkan Februari 2021 menjadi Rp 282,7 triliun. Penurunan terjadi pada belanja pemerintah pusat, sedangkan transfer ke daerah mencatatkan kenaikan.
Sri Mulyani menjelaskan, belanja pemerintah pusat turun 4,2% menjadi Rp 172,2 triliun. Penurunan terutama terjadi pada belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar 19%, sedangkan belanja non-K/L masih naik 13,2%.
"Belanja non-K/L yang didominasi untuk subsidi barang, seperi LPG, listrik atau lainnya melonjak,. Kami sudah membayar belanja non-K/L Rp 93,6 triliun," kata Sri Mulyani.
Sementara itu, belanja berupa transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) meningkat 7,1% menjadi Rp 110,5 triliun. Kenaikan terutama untuk transfer ke daerah sebesar 7,8% mencapai Rp 107,1 triliun. Sementara transfer untuk dana desa anjlok 11,9% menjadi Rp 3,4 triliun.
Dengan realisasi APBN yang masih mencetak surplus, realisasi pembiayaan anggaran juga bisa ditekan. Pemerintah telah melakukan pembiayaan anggaran sebesar Rp 84 triliun atau 69,4% lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp 274,8 triliun.
Waspadai Lonjakan Belanja Subsidi
Meski realisasi belanja minim pada dua bulan pertama tahun ini, Sri Mulyani mengingatkan APBN berpotensi tertekan dalam beberapa bulan ke depan akibat potensi lonjakan belanja subsidi. APBN, menurut dia, perlu melakukan perannya sebagai shock absorber dalam bentuk pemberian subsidi dan dukungan pemulihan ekonomi.
"Meski Februari cukup positif dan surplus, APBN di bulan ketiga 2022 ini harus bersiap menjadi shock absorber lagi menjaga ekonomi dan rakyat dari gejolak global yang berasal dari kenaikan harga pangan dan energi ," kata Sri Mulyani.
Harga minyak dunia melonjak mencapai di atas US$ 100 per barel, bahkan sempat mendekati US$ 140 per barel. Angka ini jauh di atas asumsi harga minyak dalam APBN yang hanya mencapai US$ 63 per barel.
Kementerian Keuangan mencatat belanja subsidi energi yang mencakup BBM, LPG, dan listrik hingga Februari 2022 mencapai Rp 21,65 triliun. Angka ini melonjak dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 12,35 triliun. Namun demikian, Sri Mulyani mengatakan, lonjakan pembayaran subsidi tersebut terutama terjadi karena kenaikan pembayaran kurang bayar atas penyaluran subsidi tahun sebelumnya yang naik dari Rp 2,27 triliun pada Februari 2021 menjadi Rp 10,17 triliun.