Mengapa Dunia Kembali Terancam Resesi Ekonomi?

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Bank Dunia telah memperingatkan ekonomi global akan menghadapi risiko resesi ekonomi.
Penulis: Agustiyanti
15/6/2022, 14.51 WIB

Hanya beberapa kuartal sejak berakhirnya resesi akibat pandemi Covid-19, Amerika Serikat berpotensi kembali dihadapkan pada resesi ekonomi pada tahun depan. Bank Dunia pun telah memperingatkan risiko serupa juga dihadapi oleh ekonomi secara global. 

Apa sebenarnya yang terjadi?

Resesi ekonomi yang terjadi pada 2020 disebabkan oleh pandemi Covid-19. Wabah menyebabkan  anjloknya aktivitas ekonomi sehingga memicu terjadinya resesi. Di Amerika Serikat, resesi ekonomi di awal pandemi bertahan selama dua kuartal, yakni pada kuartal I dan kuartal 2 2020. Ekonomi AS mulai kembali tumbuh positif pada kuartal ketiga. 

Namun, pemulihan ekonomi AS tak bertahan lama. Mayoritas ekonom yang disurvei Financial Times memperkirakan resesi di negara ekonomi terbesar dunia ini akan terjadi pada tahun depan. 

Para ekonom percaya bahwa resesi ekonomi akan terjadi karena The Federal Reserve siap mengambil langkah agresif dalam mengendalikan lonjakan inflasi. Kenaikan inflasi sebenarnya tak hanya terjadi di AS. Banyak negara yang sedang mengalaminya, termasuk Indonesia yang meski masih terkendali di bawah 4%. 

Inflasi Amerika Serikat yang semula diperkirakan melandai ternyata masih melanjutkan kenaikan hingga mencapai 8,6% secara tahunan, tertinggi dalam empat dekade terakhir. Inflasi yang berada diluar dugaan semakin membuat pasar khawatir The Fed akan semakin agresif menaikkan bunga. Pasar meramal The Fed akan menaikkan bunga 0,75%, lebih tinggi dari perkiraan awal 0,5%. 

Kekhawatiran pasar bukan terletak pada kenaikan bunga, tetapi justru pada efeknya. Meski The Fed menyebut kenaikan bunga memang akan menimbulkan rasa sakit terhadap perekonomian, pasar memperkirakan kondisi ekonomi akan lebih buruk dari itu. 

Resesi di depan mata tak hanya terjadi di AS, Inggris juga mengalami kondisi serup a kibat lonjakan inflasi. Pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut diperkirakan melambat pada tahun depan.

Konfederasi Industri Inggris (CBI) menjadi lembaga ketiga yang memangkas perkirakan pertumbuhan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth dalam seminggu terakhir. Ini menyusul revisi ke bawah yang dilakukan Kamar Dagang Inggris dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). 

"Biar saya perjelas - kami memperkirakan ekonomi akan sangat stagnan. Tidak perlu banyak hal untuk mengarahkan kami ke dalam resesi," kata Direktur Umum CBI Tony Danker dikutip dari Reuters, Senin (13/6).

Resesi ekonomi bahkan sudah terjadi di beberapa negara miskin dan berkembang. Beberapa di antaranya memang belum bisa bangkit dari dampak pandemi Covid-19 dan semakin terjerembab dalam krisis, antara lain akibat struktur ekonomi yang buruk. Sri Lanka salah satunya. 

Negara Asia Selatan ini sudah mengalami gagal bayar utang. Pengelolaan utang yang buruk dan kondisi pandemi yang membuat negara ini kehilangan pemasukan terbesarnya dari pariwisata membuat Sri Lanka kehabisan devisa, ditambah pula dengan  Krisis pangan dan obat kini sedang melanda  negara yang sempat didaulat Lonely Planet sebagai salah satu tujuan wisata terbaik. 

Di Afrika, ekonomi Zimbabwe juga sedang terpuruk akibat inflaasi yang mencapai 130%. Negara ini juga dilanda kelaparan dan keSelain karena dampak Covid-19, ini juga tak lepas dari pengelolaan ekonomi dan keuangan negara yang buruk. 

Lembaga riset nirlaba asal AS ini menemukan paling tidak ada dua kejadian flu yang berakhir dengan kejatuhan kondisi ekonomi. Pertama adalah Flu Rusia pada 1889-1890. Pandemi ini memakan korban hingga satu juta orang secara global. Penyebarannya begitu masif karena berbarengan dengan kemunculan transportasi massal, yaitu kereta api. 

Begitu flu tersebut pertama kali ditemukan di Saint Petersburg, dalam waktu empat bulan virus ini menginfeksi banyak orang di belahan bumi bagian utara. Efek selanjutnya adalah resesi pada kawasan itu yang terjadi pada 1890-1891. 

Lalu, kejadian Flu Spanyol pada 1918. Wabah ini muncul pada akhir Perang Dunia I dan  menyebabkan resesi kembar pada 1918-1919 dan 1920-1921. Pandemi ini menyebabkan jutaan orang meninggal dunia. 

Adapun tak semua wabah menyebabkan resesi. Virus sindrom pernapasan akut atau SARS pada 2002 sampai 2003 yang menyerang daratan Tiongkok dan Hong Kong, tak sampai membuat ekonomi global kolaps. Namun, Observer.com menulis kepanikan karena virus sangat menular dan mematikan cenderung mendorong ketidakstabilan ekonomi. 

Bank Dunia menyebut berbagai tekanan global yang terjadi saat ini akan membuat banyak negara di dunia sulit menghindari resesi ekonomi. Lembaga ini juga memperingatkan risiko terjadinya stagflasi, atau kombinasi pertumbuhan ekonomi yang turun tajam ditambah inflasi yang memanas.

"Perang di Ukraina, penguncian di Cina, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/6).