Mengapa BI Didorong Kerek Bunga Acuan Sekalipun Inflasi Masih Rendah?

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
Teller menghitung uang di Bank BNI, Jakarta, Kamis (21/4/2022).
23/6/2022, 08.33 WIB

Pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo agar tak buru-buru mengerek suku bunga, memberikan sinyal kuat bahwa bank sentral belum akan menaikkannya pada pertemuan siang ini.

Hal ini disampaikan Perry dalam diskusi daring oleh Bank Dunia pada Rabu (22/6). Perry menyebut meski inflasi diperkirakan melebihi batas atas target 4%, namun level itu masih 'sangat rendah' dibandingkan negara lain. Inflasi juga diperkirakan melandai ke target 2%-4% pada tahun depan.

"Dengan inflasi yang tetap rendah, kami tidak perlu buru-buru untuk menaikkan suku bunga, kami akan menjaga suku bunga 3,5% sampai ada tekanan fundamental dari inflasi," kata Perry dalam diskusi tersebut.

Menanggapi pernyataan ini, ekonom melihat ada alasan suku bunga perlu segera dinaikkan, bahkan jika perlu, kebijakan ini dapat dilakukan bulan ini.

Kepala Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho menilai, jika BI terus mempertahankan suku bunga di level saat ini, sementara The Fed terus agresif mengerek bunganya, maka spread alias selisih antara bunga BI dengan bunga The Fed semakin menyempit. Dengan spread yang menyempit, maka tingkat bunga BI menjadi kurang atraktif.

The Fed sudah menaikan bunga acuannya 150 bps dalam tiga pertemuan terakhir, dari 0%-0,25% menjadi 1,5%-1,75%. Sementara BI masih terus mempertahankan bunga di 3,5%.

"Dengan spread yang menyempit maka ada potensi outflow yang lebih persisten, ini bisa berdampak pada stabilitas rupiah," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (22/6).

Selain itu, dengan asumsi bahwa The Fed akan agresif mengerek bunga tahun ini hingga mendekati 4%, maka tekanan bagi BI makin berat untuk mengejar bunga The Fed yang naik agresif. Bisa saja, demi mengejar level bunga The Fed, BI perlu menaikkan bunga lebih agresif misalnya 50 bps untuk setiap pertemuan.

Oleh sebab itu, dia menyarankan BI bisa mulai mencicil kenaikan bunga setiap dua pertemuan sekali sebesar 25 bps, mulai bulan ini. Dengan begitu, hingga akhir tahun suku bunga BI sudah dinaikan 100 bps menjadi 4,5%. Kenaikan 25 bps menurutnya tidak akan mengganggu pemulihan ekonomi. 

Hal senada juga diungkapkan Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Dia menyebut BI sebenarnya sudah perlu menaikkan suku bunga untuk menjangkar, agar inflasi tidak liar dan menjaga stabilitas rupiah. Namun, dengan komentar BI kemarin, David menilai kemungkinan besar bank sentral belum akan menaikan suku bunga bulan ini.

Ekspektasi terhadap inflasi ke depan juga masih tinggi. Menurutnya, bukan tidak mungkin BI bisa menghadapi risiko serupa dengan The Fed yang terlambat mengerek bunga. Walhasil, The Fed perlu menaikkan bunga lebih agresif dari perkiraan sebelumnya demi meredam inflasi yang terlanjur mengakar.

Namun, David menilai sejauh ini risiko tersebut masih terkendali. "Nanti kita lihat kalau inflasi di Juni masih tinggi, maka bulan Juli akan menjadi critical point bagi BI," kata David kepada Katadata.co.id

Jika inflasi Juni kembali menanjak, dia menyarankan BI untuk mulai mencicil kenaikan 25 bps pada bulan depan. Perkirananya, BI bisa menaikan 50-150 bps hingga akhir tahun.

Sementara ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menyebut BI tidak perlu buru-buru menaikan suku bunganya karena pengetatan moneter saat ini bisa mengganggu kemajuan pemulihan ekonomi. Akan tetapi, BI perlu mewaspadai pengetatan moneter oleh The Fed yang agresif dan diikuti bank sentral negara lain, karena berpotensi mengakibatkan arus modal keluar dan depresiasi rupiah

"Oleh karena itu, waktu yang tepat bagi BI untuk menaikan suku bunga acuan adalah setelah tingkat inflasi meningkat secara fundamental dan substansial," kata dia dalam risetnya, Kamis (23/6).

Riefky menyebut keputusan pemerintah menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini membantu menahan tekanan inflasi. Sementara, dari sisi nilai tukar, depresiasi rupiah tidak sedalam mata uang tetangga seperti ringgit Malaysia, peso Filipina dan baht Thailand.

Reporter: Abdul Azis Said