Sri Mulyani: Masyarakat Makin Sulit Beli Rumah jika Inflasi Tinggi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/POOL/rwa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, tekanan inflasi dapat menjadi pendorong bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuannya.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
6/7/2022, 13.38 WIB

Kenaikan inflasi akan mendorong bank sentral, termasuk Bank Indonesia, untuk menaikkan suku bunga acuan yang dapat berdampak pada kenaikan biaya kredit, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai potensi kenaikan inflasi ini membuat masyarakat Indonesia makin kesulitan membeli rumah.

"Ini akan menjadi salah satu implikasi dari situasi dunia saat ini yang ada pengaruhnya ke sektor perumahan," kata Sri Mulyani dalam diskusi daring Road to G20 - Securitization Summit 2022, Rabu (6/7).

Sri Mulyani menyebutkan, tekanan inflasi dapat menjadi pendorong bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuannya. Bank sentral di sejumlah negara maju sudah mengerek bunga acauan, termasuk bank sentral AS, The Federal Reserve, yang secara agresif telah menaikan bunga 75 bps pada bulan lalu. Bank sentral Inggris, Swiss dan Kanada pun ikut mengerek bunga acuannya, termasuk bank sentral eropa (ECB) yang rencananya mulai bulan ini.

Meski begitu, BI sampai saat ini masih belum 'ikut-ikutan' menaikkan bunga acuan seperti banyak bank sentral lain. Suku bunga kebijakan BI masih di tahan di level 3,5% selama lebih dari setahun terakhir. Namun sejumlah ekonom melihat BI kemungkinan mulai menaikkan bunga acuannya pada kuartal ketiga ini seiring makin kuatnya tekanan inflasi.

Kenaikan suku bunga acuan yang akan berdampak pada biaya pinjaman akan memengaruhi kemampuan masyarakat membeli rumah. Meski demikian, menurut Sri Mulyani, pemerintah sebenarnya selama ini telah memberikan dukungan untuk mendorong sektor perumahan.

Dukungan diberikan melalui fasilitas likuiditas dalam program FLPP untuk mendukung likuiditas pembiayaan perumahan. Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran Rp 19,1 triliun dalam APBN untuk program FLPP dengan target 200 ribu unit rumah.

"Pemerintah juga menyediakan berbagai skema kredit rumah rakyat yang bersubsidi. Karena ada gap affordability, maka dibutuhkan subsidi selisih bunga (SSB)," kata Sri Mulyani.

Selain dari sisi fiskal, ia juga menyebut dukungan untuk sektor perumahan juga diberikan oleh BI dan Otoritas Jasa Keuangan. BI telah memberikan dukungan dengan menurunkan risiko ATMR dan pelanggaran rasio loan to value (LTV). Sementara dari sisi OJK, dukungan melalui kebijakan mikroprudensial kepada perbankan.

Dalam laporan BI, pertumbuhan kredit untuk KPR turun dalam dua bulan terakhir. Pada Maret, pertumbuhan kredit KPR mencapai 10,6% kemudian mulai turun pada April menjadi 10,5% dan 9,8% pada bulan Mei. Penurunan KPR pada Mei terutama terjadi untuk pembiayaan perumahan tipe 22-70 di Jawa Barat dan Banten. 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya juga sempat menyebut, kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada biaya pinjaman. Dengan demikian, keputusan BI yang hingga kini masih menahan kenaikan bunga tentu menguntungkan bagi dunia usaha dan rumah tangga karena bunga perbankan juga akhirnya tidak naik.

"Kenaikan suku bunga itu berpotensi mendorong kenaikan beban utang bagi pemerintah, biasanya yield alias imbal hasil obligasi akan mengikuti suku bunga juga pada akhirnya," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (23/6).

Reporter: Abdul Azis Said