Bank DBS memperkirakan kurs rupiah akan stabil hingga akhir tahun meski sempat melemah beberapa waktu terakhir akibat langkah agresif The Federal Reserve menaikkan suku bunga. Kepala Market dan Perdagangan Obligasi Bank DBS Ronny Setiawan menyebut, stabilitas nilai tukar ditopang oleh fundamental ekonomi Indonesia yang semakin baik.
"Kami melihat ke depan, rupiah mungkin stabil dan sidewise di rentang Rp 14.800-Rp 15.100," kata Ronny dalam diskusi dengan wartawan, Selasa (26/7).
Ia mengindikasikan rupiah berpotensi menguat seiring adanya inflow di pasar obligasi pemerintah dalam beberapa hari terakhir. Jika aksi beli di pasar obligasi terus berlanjut, menurut dia, pelemahan rupiah akan terbendung.
Di sisi lain, ia juga menilai fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat akan menopang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sekalipun terdapat aliran keluar modal asing dari pasar Surat Brrharga Negara (SBN) lebih dari US$ 7 miliar sejak awal tahun, menurut dia, kondisi tersebut akan dikompensasi oleh neraca perdagangan yang mencetak surplus jumbo. Neraca dagang berhasil mencetak surplus selama lebih dari dua tahun berturut-turut.
Ia menyebut penguatan indeks dolar AS beberapa bulan terakhir didorong oleh penguatan dari sentimen eksternal dan belum menghitung fundamental ekonomi. "Ketika dolar stop naik, pasar akan melihat cerita fundamental masing-masing negara. Kebetulan fundamental Indonesia bagus, pertumbuhan dan neraca dagang masih positif," kata Ronny.
Selain itu, risiko pelemahan nilai tukar akibat inflow di SBN juga tidak akan signifikan. Ia menyebut, kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah juga sudah tidak banyak dan kini tersisa sekitar 15,5%. Dengan demikian, menurut dia, kemungkinan arus keluar modal asing tidak akan lagi signifikan.
"Apalagi sekitar 3-4% itu dipegang bank sentral seperti Bank Sentral Malaysia, Cina dan lainnya. Mereka tidak akan menjual sampai jatuh tempo, termasuk pemegang SBN jangka panjang," kata dia.
Rupiah memang terus melemah dalam beberapa bulan terakhir. Namun, rupiah bukan satu-satunya yang terkoreksi melainkan juga dialami banyak mata hang Asia Tenggara lainnya. Ronny bahkan menyebut rupiah relatif stabil dibandingkan mata uang Asia Tenggara lainnya.
Analis DCFX Lukman Leong dalam risetnya pagi ini menyebut risiko resesi di AS menjadi salah satu perhatian besar belakangan ini. Pertumbuhan negatif di AS bisa mendorong penguatan rupiah terhadap dolar AS.
Jika resesi AS benar-benar terjadi, bisa menahan langkah hawkish The Fed. Bank sentral utama dunia itu secara agresif menaikkan bunga selama tiga pertemuannya terakhir dan diperkirakan berlanjut sampai akhir tahun.
"Pasar mengantisipasi the Fed untuk less hawkish setelah data-data ekonomi terbaru yang memunculkan kembali kekuatiran resesi," kata dia.
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat melambat akibat inflasi tinggi yang dibendung dengan kenaikan suku bunga agresif oleh Bank Sentral AS The Federal Reserve. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, penurunan ekonomi tak dapat dihindari dan mengakui adanya risiko terjadi resesi ekonomi.