Ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini berhasil tumbuh 5,44 % secara tahunan atau year on year (yoy). Capaian ini lebih tinggi dari target pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,2%. Akan tetapi, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar tidak euforia.
Menurut Indef, tidak ada alasan untuk merayakan capaian kinerja semester pertama 2022, karena dua triwulan berikutnya tahun ini perekonomian Indonesia dihadapkan pada situasi ketidakpastian global yang semakin nyata.
"Indef memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2022 akan mengalami penurunan, yaitu sebesar 5 persen yoy," kata Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto dalam keterangan resmi, Minggu (7/8).
Menurutnya, capaian kinerja triwulan kedua tidak lepas dari adanya dorongan aktivitas ekonomi berupa momentum lebaran, setelah dua kali hari raya sebelumnya terdapat larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Selain itu, windfall surplus dagang dari lonjakan harga komoditas di pasar global pun ke depan akan kian menipis seiring perkembangan ekonomi negara-negara mitra dagang yang cenderung pesimis.
Hal ini disebabkan pada dua triwulan berturut-turut, kinerja pengeluaran konsumsi selalu tumbuh negatif. Pada triwulan II 2022 pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh -5,24 persen yoy, melanjutkan raport merahnya di triwulan I 2022 yang juga tumbuh negatif sebesar -7,59 persen yoy.
Persoalan lainnya, empat sektor ekonomi yang memiliki kontribusi double digit bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu sektor industri, pertambangan, pertanian, dan perdagangan, tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi triwulan II 2022.
Padahal secara distribusi pertumbuhan keempat sektor tersebut mendominasi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 56,59 persen.
"Dengan masih lambannya pertumbuhan sektor-sektor yang mendominasi PDB ini, menggambarkan masih adanya belenggu persoalan yang menjadi batu sandungan bagi pemulihan di masing-masing sektor," jelas Eko.
Indef juga mengingatkan potensi penurunan ekspor akibat inflasi di sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Tekanan inflasi yang meningkat di negara-negara mitra dagang utama Indonesia bisa berisiko menggerus surplus di semester mendatang.
"Ketika daya beli negara mitra dagang utama tertekan, maka konsekuensinya permintaan barang dan jasa bisa saja berkurang," ungkap Eko.
Menurut Eko, salah satunya tantangan Indonesia ke depan adalah persoalan ketidakpastian global, yang menggelayuti perekonomian dunia.
Dari sisi geopolitik, proses perang Rusia-Ukraina membuat gejolak ekonomi belum mereda. Situasi menjadi lebih rumit ketika tensi geopolitik antara Taiwan dan Cina juga meningkat.
Sementara dari sisi keuangan, agresivitas kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan terus berlangsung hingga tekanan inflasi di Amerika Serikat mereda.
"Ini mengindikasikan akan adanya peningkatan volatilitas keuangan di semester II 200 dan bahkan di tahun depan," ujar Eko.
Meski pertumbuhan ekonomi tinggi namun inflasi juga tinggi. Inflasi telah mencapai 4,9% secara yoy pada Juli 2022. Penyebabnya terjadi kenaikan harga bawang merah, cabe merah dan keriting, telur dan daging ayam.
Konsekuensi dari pertumbuhan tinggi dan inflasi tinggi adalah kemiskinan diperkirakan memburuk pada akhir 2022. Hal ini terlihat 4 sektor utama penduduk miskin bekerja, pertumbuhannya di bawah rata-rata nasional namun penduduk miskin menerima kenaikan
harga paling tinggi.
Sebleumnya, ekonomi RI terus tumbuh positif, setidaknya di level 5% selama tiga kuartal terakhir. Kinerja tersebut dicapai saat banyak negara lain justru dihadang risiko perlambatan, bahkan risiko jatuh ke jurang resesi.
Ekonomi AS resmi resesi setelah terkontraksi 0,9% pada kuartal kedua. Cina juga melambat, hanya tumbuh di 0,4% pada periode yang sama dari biasanya tumbuh lebih tinggi dari Indonesia. Ekonomi Korea Selatan juga sedikit melambat menjadi 2,9%. Hong Kong juga melambat menjadi hanya 1,4%.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut, faktor yang membedakan kinerja ekonomi RI dengan negara lain yakni berkah harga komoditas. Tren harga komoditas tinggi menjadi pendorong moncernya kinerja ekspor yang masih berhasil tumbuh dua digit pada kuartal kedua. Net ekspor memberi andil 2,14 poin persentase terhadap pertumbuhan 5,44% pada kuartal II.
"Kenaikan harga komoditas jadi berkah bagi Indonesia, sementara kalau bagi negara lain itu menjadi sebuah tantangan, seperti di AS yang kenaikan harga komoditas justru memicu inflasi," kata Rendy kepada Katadata.co.id.
Berkah harga komoditas juga menjadi salah satu catatan BPS terkait kinclongnya kinerja ekonomi pada kuartal kedua tahun ini.
Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono menjelaskan, harga komoditas mendorong kinerja neraca perdagangan yang surplus US$ 15,5 miliar, naik 148% dibandingkan kuartal sebelumnya. Sumbangan net ekspor pada kuartal kedua pun melonjak dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya.
Margo juga mencatat, langkah pemerintah menambah subsidi energi dan memberikan bantuan sosial juga berdampak positif pada ekonomi kuartal II. Subsidi energi membuat inflasi Indonesia lebih terkendali dibandingkan banyak negara.
Inflasi pada Juli tercatat sebesar 4,94%, jauh di bawah Amerika Serikat 9,1%, Inggris 8,2%, Korea Selatan 6,1%, dan Uni Eropa 9,6%.
Sementara itu, Ekonom senior yang juga Menteri Keuangan RI 2010-211 Chatib Basri menilai ada faktor keberuntungan dibalik kuatnya pertumbuhan ekonomi RI. "Dalam arti kita kurang terintegrasi dengan ekonomi global," kata Chatib dalam diskusi daring Rabu (3/8).
Ia menjelaskan, ekonomi Indonesia tidak terlalu banyak terhubung dengan ekonomi global, seperti Singapura maupun Australia. Jaringan produksi kedua negara tersebut benar-benar terkoneksi dengan global. Kondisi ini membuat pukulan kuat ekonomi dunia ke Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dua negara tersebut.
Di sisi lain, menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan sekuat negara lain saat ekonomi global pulih. Ia mencontohkan ekonomi Singapura yang melonjak 7,6% pada tahun lalu setelah jatuh dalam tahun sebelumnya karena pemulihan global. Sedangkan ekonomi Indonesia pada tahun lalu hanya tumbuh 3,7%.