Bank Dunia memperingatkan krisis pangan dan energi dunia berpotensi semakin parah di banyak negara berkembang akibat pelemahan nilai tukar. Harga sejumlah komoditas sebetulnya sudah turun beberapa bulan terakhir, tetapi tidak dirasakan oleh negara berkembang karena mata uangnya melemah sehingga harganya tetap tinggi.
Bank Dunia mencatat, harga sejumlah komoditas telah turun setelah mencapai puncaknya di bulan-bulan awal perang. Penurunan harga terjadi karena permintaan menurun seiring pertumbuhan ekonomi yang melambat dan meningkatnya risiko resesi ekonomi.
Harga minyak mentah Brent dalam denominasi dolar AS sebetulnya sudah turun 6% dalam tujuh bulan hingga September 2022. Namun karena depresiasi mata uang, hampir 60% negara emerging market (EM) yang merupakan importir minyak justru mengalami kenaikan harga selama periode ini.
Bank Dunia mencatat, hampir 90% dari negara EM juga mengalami kenaikan harga gandum lebih besar dibandingkan kenaikan jika dihitung dengan dolar AS. Harga gandum meningkat 7% sepanjang Februari hingga September 2022 dalam denominasi dolar AS. Namun jika dikonversi dalam mata uang lokal Sub-Sahara Afrika, Eropa Timur dan Asia Tengah, kenaikan harga gandum sepanjang periode yang sama sebesar 22%.
"Nilai mata uang yang menyusut di sebagian besar negara berkembang mendorong kenaikan harga pangan dan bahan bakar yang kemudian dapat membuat krisis pangan dan energi yang sudah dihadapi banyak dari mereka semakin dalam," dikutip dari keterangan resmi Bank Dunia dikutip Kamis (27/10).
Bank Dunia melihat, tekanan inflasi yang didorong oleh kenaikan harga bisa bertahan lebih lama di negara-negara EM yang nilai tukarnya turun tajam. Oleh karena itu, Bank Dunia juga memperingatkan krisis pangan bisa bertahan lebih lama di banyak negara.
Selain itu, harga-harga komoditas bertahan masih relatif tinggi sekalipun sudah mulai turun. Harga energi dalam denominasi dolar AS diperkirakan turun 11,2% pada tahun depan, tetapi masih 75% di atas harga rata-rata dalam lima tahun terakhir. Harga gas alam dan batu bara juga diperkirakan masih dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata lima tahun terakhir sekalipun diramal turun pada tahun depan.
Harga komoditas pertanian juga diperkirakan turun tahun depan. Harga gandum pada kuartal ketiga lalu sudah menyusut seperlimanya, tetapi masih 24% lebih tinggi dari tahun lalu.
"Kombinasi dari kenaikan harga komoditas dan depresiasi mata uang yang terus-menerus menyebabkan inflasi yang lebih tinggi di banyak negara,” Kepala Ekonom Equitable Growth, Finance, and Institutions (EFI) Bank Dunia Ayhan Kose dalam keterangan resminya.
Nilai Tukar Ramai-ramai Melemah
Depresiasi nilai tukar terjadi di banyak negara, termasuk negara-negara emerging market di Asia. Nilai tukar rupiah sudah melemah 9,14% dibandingkan akhir tahun lalu atau 2,9% hanya dalam sebulan terakhir.
Namun, rupiah bukan satu-satunya yang melemah. Dalam keterangan BI, depresiasi rupiah hingga 19 Oktober bahkan masih lebih kecil dibandingkan pelemahan rupee India, ringgit Malaysia dan baht Thailand yang anjlok lebih dari 10%. Oleh karena itu, BI menilai rupiah masih relatif terjaga.
"Depresiasi tersebut sejalan dengan menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara, terutama AS," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat dewan gubernur BI pekan lalu.
Perhatian pasar global masih tertuju kepada arah kebijakan bank sentral AS, The Fed. Ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga The Fed yang agresif mendorong ramai-ramai modal asing beralih ke aset dolar AS, sehingga terjadi outflow di banyak negara terutama negara berkembang dan EM. Hal ini yang menjadi pendorong depresiasi nilai tukar.