Indonesia Kuat saat Dunia Suram, Sri Mulyani: Pemulihan Kami Terlambat

YouTube Bloomberg
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam diskusi Bloomberg CEO Forum: Moving Forward Together, Jumat (11/11).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
11/11/2022, 12.08 WIB

Pertumbuhan ekonomi Indonesia menguat  sampai dengan kuartal ketiga tahun ini tercatat 5,72%. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kinerja moncer tersebut menjadi keberuntungan karena proses pemulihan ekonomi domestik yang relatif terlambat dibandingkan negara lain.

"Ketika semua negara menurun, terutama karena kenaikan suku bunga yang tajam dan kemudian inflasi tinggi yang mengikis permintaan domestik mereka, maka kita masih dalam posisi pemulihan yang sangat kuat," kata Sri Mulyani dalam diskusi Bloomberg CEO Forum: Moving Forward Together, Jumat (11/11).

Kementerian Keuangan masih optimistis pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini antara 5%-5,3%, dengan kecenderungan mencapai batas atasnya. Kinerja ini ditopang pertumbuhan yang kuat selama tiga kuartal tahun ini yang terus tumbuh di kisaran 5%.

Pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga bahkan mencapai 5,72% secara tahunan, salah satu yang tertinggi selama lebih dari dua tahun pandemi. Kinerja pertumbuhan yang kuat ini ditopang konsumsi rumah tangga yang tetap solid, investasi menguat serta ekspor yang tetap moncer.

Namun Sri Mulyani juga menyebut situasi dunia makin sulit dengan berbagai masalah yang makin kompleks. Setelah pandemi, kini ekonomi dunia dihadapkan pada harga-harga barang dan jasa yang makin tinggi, termasuk di Indonesia.

Tantangan ekonomi yang ada saat ini bahkan semakin rumit karena infasi tinggi kemudian diikuti kenaikan suku bunga. "Kerumitan itu menciptakan apa yang kita ingat seperti kejadian 2008-2009, di mana indeks volatilitas meningkat, nilai tukar melemah, suku bunga naik, inflasi naik dan itu pasti berpotensi berefek ke stabilitas sisi keuangan," kata Sri Mulyani.

Risiko itu menjadi tantangan terbesar bagi banyak pembuat kebijakan dunia saat ini, termasuk Indonesia. Kenaikan inflasi tersebut tentunya perlu direspons dari sisi kebijakan, baik fiskal maupun moneter. Di sisi lain, ruang kebiajkan yang ada saat ini semakin terbatas karena sudah banyak disedot untuk merespon pandemi Covid-19. Dilema lainnya, pembuat kebijakan juga perlu terus mendorong pemulihan ekonomi di samping mengelola risiko yang makin kompleks.

Sri Mulyani menyebut respons dari sisi fiskal, Indonesia akan terus mendirong konsolidasi fiskal menuju defisit di bawah 3% pada tahun depan. Defisit anggaran ditargetkan turun ke 2,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana kesepakatan dengan DPR.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III pada tahun ini mencapai 5,72% secara tahunan. Pertumbuhan ekonomi Juli-September ini lebih tinggi dibandingkan Apri-Juni yang mencapai 5,44%.

Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, produk domestik bruto (PDB) atas harga berlaku mencapai 5.091 triliun, sedangkan PDB atas harga konstan mencapai Rp 2.976 triliun.

"Jika dibandingkan kuartal kedua tahun ini atau quartal to quartal, ekonomi Indonesia tumbuh 1,81%, sedangkan dibandingkan kuartal ketiga tahun lalu atau year on year tumbuh 5,72%," ujar Margo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/11). 

Adapun sepanjang tahun ini atau secara year to date, menurut Margo, ekonomi Indonesia tumbuh 5,4%.  

Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi berhasil mencatatkan tren pertumbuhan tahunan selama empat kuartal di atas 5% sejak kuartal keempat 2021. Ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan semakin menguat. 

"Sektor penopang utama ekonomi Indonesia berasal dari industri, pertambangan. pertanian, dan perdagangan. Ini empat sektor utama penopang ekonomi Indonesia," katanya. 

Menurut Margo. semua sektor mencatatkan pertumbuhan kecuali di sektor jasa kesehatan yang terkontraksi 1,74%. Berdasarkan catatan BPS, kontraksi pada sektor kesehatan terjadi karena pencairan insentif kesehatan pada kuartal ketiga tahun ini lebih rendah dibandingkan kuartal III 2021. 

"Juga karena adanya penurunan insentif tenaga kesehatan, baik secara tahunan, kumulatif, maupun kuartalan. Ini menyebabkan kontraksi pada industri jasa kesehatan kuartal III," kata dia.

Reporter: Abdul Azis Said