Pemerintah Brasil berencana membentuk mata uang bersama sengan tetangganya, Argentina untuk mendukung perdagangan dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Melirik rencana dua raksasa Amerika Latin itu, mungkinkah Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) meniru langkah serupa?
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai berat untuk Indonesia bersama ASEAN membentuk mata uang bersama. Mata uang memcerminkan fundamental perekonomian masing-maisng negara, sedangkan setiap negara di ASEAN memiliki kondisi ekonomi yang beda-beda.
Ia menilai rencana penyatuan mata uang perlu belajar dari krisis utang yang menghantam Yunani setelah negara itu memutuskan bergabung dengan mata uang bersama euro. Seiring penyatuan mata uang, Yunani juga harus berbagi kebijakan moneter yang sama dengan negara Eropa lainnya yang sebetulnya memiliki kondisi ekonomi dan keuangan berbeda.
"Menyatukan mata uang tidak semudah mencetak uang yang sama menjadi satu mata uang. Banyak masalah di sana, karena uang itu merepresentasikan masalah riil masing-masing negara, sedangkan negara di Eropa itukan berbeda-beda," kata Piter saat dihubungi, Selasa (24/1).
Selain itu, menurut dia, mata uang merupakan representasi perjalanan dan sejarah suatu negara. Penyatuan mata uang dinilai bisa menghilangkan jati diri negara tersebut. Ini, menurut dia, seperti yang terjadi pada Belanda saat harus meninggalkan mata uangnya, Gulden dan bergabung dengan euro.
Ia juga menilai, upaya mendongkrak perdagangan tidak hanya bisa dilakukan dengan penyatuan mata uang. Indonesia saat ini telah memiliki kerja sama perdagangan dengan mata uang lokal atau local currency transation (LCT) dengan beberapa negara di Asia. Melalui kerja sama ini, transasi perdagangan hingga investasi Indonesia dengan negara mitra tidak perlu lagi konversi ke dolar AS.
Senada, Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teukur Riefky menilai kebijakan yang diambil Brasil-Argentina belum bisa diterapkan di ASEAN. Ia beralasan, setiap negara di kawasan memiliki kondisi ekonomi dan pasar keuangan yang berbeda-beda.
Ia menekankan, penyatuan mata uang berarti setiap negara harus rela melepas independensi kebijakan moneternya, seperti di Eropa. Di sisi lain, harus ada syarat utama yang dipenuhi saat menyatukan mata uang, yakni negara harus memiliki kemiripan dari sisi kondisi finansial.
Setiap negara ASEAN, menurut Riefky, memiliki karakteristik pasar keuangan yang berbeda. Hal ini akan membahayakan kondisi keuangan dan makro ekonomi setiap negara jika tetap memaksakan menyatukan mata uang.
"Jadi nampaknya untuk level ASEAN belum bisa dilakukan dan bukan kebijakan yang tepat untuk memiliki mata uang bersama, kondisi saat ini relatif baik tanpa adanya kebijakan mata uang bersama," kata Riefky.
Mengutip CNN Internasional, Argentina menjadi lawatan pertama Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva sejak terpilih. Saat itu, ia menyatakan niatnya untuk mendorong lebih jauh pembicaraan soal penerbitan mata uang bersama dengan Argentina dan mengatakan pembentukan mata uang bersama untuk perdagangan akan mengurangi ketergantungan pada dolar.
"Jika itu bergantung pada saya, kami akan memiliki perdagangan eksternal selalu dalam mata uang yang sama dengan negara lain sehingga kami tidak harus bergantung pada dolar," kata Lula.