Mahfud akan Usut Ulang Transaksi Mencurigakan Rp 189 T soal Emas

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom.
Menko Polhukam Mahfud MD (kanan) selaku Ketua Komite Nasional PP TPPU bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) memberikan keterangan pers di Gedung PPATK, Jakarta, Senin (10/4/2023). Konfrensi pers tersebut tentang laporan hasil rapat Komite Nasional TPPU terkait perkembangan isu transaksi keuangan mencurigakan di Kementerian Keuangan dengan nilai Rp349 triliun.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
10/4/2023, 17.04 WIB

Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan memprioritaskan pengusutan temuan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun diduga terkait pencucian uang ekspor impor emas. Kasus akan dibangun dari awal meski sebelumnya sudah dilakukan langkah hukum dan mendapatkan putusan pengadilan. 

Temuan transaksi mencurigakan tersebut merupakan bagian dari temuan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun terkait Kemenkeu berdasarkan laporan PPATK sejak 2009 hingga 2023. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, pengusutan kembali terhadap temuan transaksi mencurigakan diduga terkait ekspor impor emas ini menjadi prioritas karena paling besar dan menjadi perhatian masyarakat. 

Menurut Mahfud, langkah hukum terkait pengungkapan tindak pidana asal dalam laporan hasil pemeriksaan LHP dengan transaksi agregat Rp 189 triliun sudah dilakukan Kementerian Keuangan. Kasus ini juga telah menghasilkan putusan pengadilan hingga peninjauan kembali.

Adapun putusan hukum hingga peninjauan kembali (PK) menyatakan belasan entitas yang terkait dengan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun tidak terbukti melalukan tindak pidana kepabeanan. Mahfud pun memastikan pihaknya masih akan melihat kemungkinan pelanggaran lainnya dari temuan itu.

"Komite memutuskan untuk melakukan tindak lanjut, termasuk hal-hal yang belum masuk ke dalam proses hukum atau case building oleh Kemenkeu," ujar Mahfud dalam Konferensi Pers Bersama Komite Nasional TPPU, Senin (10/4). 

Penjelasan Mafud terkait tidaknya tindaklanjut dari Kemenkeu atas laporan PPATK sebesar Rp 189 triliun berbeda dengan yang sempat dijelaskannya pada rapat dengan Komisi III DPR. Saat itu, Mahfud menyebut Kemenkeu tidak melakukan pemeriksaan kasus itu dari sisi tindak pidana asalnya, yakni kepabeanan. 

 Ia menyebut, laporan PPATK itu justru ditindak dari sisi perpajakan alih-alih dari sisi kepabeanan. Padahal, menurutnya, dugaan pidana kepabeanan itu menyangkut kerugiana negara miliaran rupiah.

"Enggak ada (tindak lanjut) sejak 2017 bahkan masih diterangkan bu Menkeu dua hari lalu (saat rapat Menkeu dengN Komisi XI 27 Maret) katanya selesai, kita cek ke sana tidak ada tindakan terhadpa bea cukainya hanya pajaknya," kata Mahfud dalam rapat Komisi III.

Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut pengalihan pemeriksaan dari semula temuan kepabeanan kemudian menjadi pajak tidak lepas dari putusan Mahkamah Agung alias MA yang menyatakan bahwa perusahaan yang terlibat transaksi Rp 189 triliun itu tidak melakukan tindak pidana kepabeanan.

 Pada februari 2017, PN Tangerang memutuskan perusahaan itu tidak melakukan tindak pidana kepabeanan. Kantor bea cukai kemudian mengajukan kasasi dengan hasil tersebut dengan putusan bahwa perusahaan terbukti melakukan pidana. Namun, perusahaan melawan balik dengan mengajukan peninjauan kembali atau PK. hasil PK itu kemudian keluar pada Juli 2019 yang  kembali menyatakan perusahaan tidak melakukan tindakan pidana.

"Mengenai apa yg disampaikan Pak Mahfud, bahwa ada LHP PPATK yg diserahkan 2017 dan diterima DJBC dan Itjen. Bukan tidak ditindaklanjuti. Justru sedang berproses maka dilakukan kegiatan intelijen untuk memperkuat ini. Apalagi 2019 ternyata PK memenangkan terdakwa," kata Prastowo dalam utas di akun twitternya @prastow beberapa hari lalu.

Pada 2020, PPATK kembali mengirimkan laporan transaksi dari perusahaan yang sama ke Ditjen Bea dan Cukai. Dari hasil pemeriksaan, kantor Bea dan Cukai belum menemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan. Ia menyebut pemeriksaan kasus ini kemudian bergeser ke aspek pemeriksaan atas kepatuhann pajaknya karena pertimbangan tidak adanya unsur pidana dan putusan PK sebelumnya yang memenangkan perusahaan.

Hasil rapat bersama komite TPPU pun memutuskan untuk segera membentuk satuan tugas atau satgas yang akan mengawasi tindak lanjut penanganan keseluruhan temuan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Tim gabungan atau satgas akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejaksaan Agung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenkopolhukam dan akan membangun kasus-kasus temuan tersebut dari awal. 

"Komite dan tim gabungan atau satgas akan bekerja profesional, transparan, dan akuntabel," kata Mahfud.

Reporter: Abdul Azis Said