Inflasi Melanda, Tabungan Warga RI Tergerus Biaya Hidup yang Tinggi

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
Nasabah melakukan transaksi di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di Gedung Wisma Mandiri I di Jakarta, Kamis (11/5/2023). PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) menyatakan bahwa layanan ATM antarbank telah kembali berangsur pulih dan dapat dilakukan nasabah melalui jaringan ATM Bersama, Jalin, PRIMA, Mandiri H2H hingga Visa.
20/12/2023, 16.35 WIB

Tabungan masyarakat kelas bawah terus berkurang seiring naiknya tingkat konsumsi. Namun peningkatan konsumsi tidak sejalan penghasilan yang mereka terima. Kondisi ini disebabkan mahalnya harga barang dan jasa akibat inflasi.

Dengan biaya hidup yang makin tinggi dan pemasukan yang pas-pasan, masyarakat kelompok bawah ini, terpaksa menggunakan dana tabungan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari atau dikenal dengan fenomena "makan tabungan".

Mandiri Spending Index (MSI) melaporkan, indeks tabungan masyarakat kelompok terbawah berada di level 47,4 pada November 2023. Indeks tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya di level 54,8.

Penurunan itu tak sejalan dengan tingkat belanja masyarakat. Mandiri Spending Index mencatat, belanja masyarakat kelas bawah justru meningkat dari 253,3 pada Oktober 2023 menjadi 269,2 pada November 2023.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan, bahwa belanja masyarakat dari kelompok terbawah-konsumen dengan tabungan di bawah Rp 1 juta mulai menunjukkan perlambatan.

"Secara bulanan, belanja masyarakat kelompok terbawah di November 2023 sedikit lebih rendah dibandingkan Oktober 2023," kata Andry dalam Mandiri Economic Outlook 2023, Selasa (19/12).

Di sisi lain, penurunan tabungan kelompok ini terjadi sejak Mei 2023. Andry menilai, berkurangnya tabungan tersebut berdampak pada belanja mereka. Sementara kelompok menengah dengan saldo Rp 1 juta - Rp 10 juta justru relatif stabil.

Dalam kesempatan yang sama, Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mengungkapkan, bahwa akumulasi tabungan masyarakat kelas bawah, berasal dari simpanan saat Covid-19 ketika mereka mengerem konsumsinya.

"Kita melihat data, [tabungan] kelas menengah bawah meningkat drastis, lalu mengalami penurunan di 2022. Situasi ekonomi dalam kondisi lebih baik, karena saat pandemi masih ada pembatasan sehingga akumulasi off saving yang cukup tinggi di 2022," kata Yudo.

Namun pada 2023, kata Yudo, masyarakat mulai menarik tabungannya untuk belanja. Namun lambat laun, tabungan mereka terus berkurang karena ekonomi semakin tak menentu. Yudo bahkan memperkirakan tabungan kelas menengah bawah belum akan pulih pada 2024.

Fenomena Makan Tabungan

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan tabungan di bawah Rp 100 juta hanya tumbuh 3,6% yoy pada Oktober 2023. Bahkan secara ytd, enam bulan dan tiga bulan sebelumnya, masing-masing turun 1,2%, 0,5% dan 0,1%.

Artinya, makin banyak masyarakat dengan tabungan di bawah Rp 100 juta lebih memilih menggunakan uangnya untuk konsumsi dibandingkan menabung. Bahkan tren penurunan tabungan kelompok ini telah terjadi sepanjang 2023.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, fenomena masyarakat makan tabungan terjadi karena mereka perlu uang untuk membiayai kebutuhan pokok, pangan hingga transportasi.

"Ada korelasi antara kenaikan harga beras, cabai, dan gula terhadap jumlah tabungan yang pertumbuhannya rendah. Sementara itu, dari sisi pendapatan masyarakat terhambat oleh sulitnya mencari pekerjaan yang layak," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (20/12).

Jadi kenaikan kebutuhan pokok dengan pendapatan bulanan tidak berbanding lurus. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), ada gap kebutuhan biaya hidup di Jakarta Rp 14,88 juta, dengan upah minimum provinsi (UMP) hanya Rp 4,9 juta di 2023.

Dengan kondisi ini, diperkirakan tabungan kelompok bawah ini akan tumbuh melambat pada 2024. Namun Bhima memperkirakan, peningkatan tabungan bisa terbantu sedikit dengan adanya uang politik atau serangan fajar tapi sifatnya temporer.

"Sampai 2025, kalau kondisi pendapatan masyarakat menengah bawah masih tergerus inflasi, terutama bahan pangan, masih akan lanjut makan tabungan," ujar Bhima.

Mengantisipasi hal tersebut, Bhima meminta pemerintah memberikan insentif yang lebih besar kepada sektor-sektor berbasis padat karya. Kemudian mengubah formulasi upah minimum sehingga pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

"Selanjutnya, menambah bantalan sosial, terutama bansos tunai, tidak hanya untuk keluarga miskin, tapi juga kelas menengah rentan," kata Bhima.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari, Zahwa Madjid